27 Desember 2012

Masih Adakah Guru ini

BELUM lagi hilang lelahku sehabis mengajar. Istri ku, Ratih, dengan wajah masam sambil berkacak pinggang langsung berujar.
            “Kalau honor Mas mengajar di sekolah hanya 350 ribu sebulan, mana cukup untuk memenuhi kebutuhan kita. Sekarang, kita sudah punya anak, Mas,” ingatnya berapi-api.
            Hah..., sebenarnya aku sangat malas meladeni, bahkan bosan. Tiap kali aku menyerahkan honorku. Pasti dia ngomel tak karuan. Seharusnya dia ikut bersyukur. Bulan ini honorku dinaikkan pihak sekolah 50 ribu sebulan dari sebelumnya. Tapi, memang dasar tabiat istriku seperti itu. Bawaannya ngomel melulu. Salah ini diomelin. Salah itu juga diomelin. Nasib...! Nasib...!
            “Ya, mau gimana lagi, Bu. Pihak sekolah hanya mampu membayar Mas segitu.” ucapku dengan terpaksa.
            “Mas berhenti saja jadi guru,” sahut Ratih enteng. Masih dengan suara cemprengnya yang memekakkan gendang telinga. Kalau harus memilih, mungkin aku lebih suka mendengarkan musik-musik cadas. Dari pada suara Ratih.
            “Maksud Ibu?”
            “Mas cari kerjaan lain saja. Percuma jadi guru honorer. Sudah lima tahun mengabdi, belum juga di angkat jadi PNS.”
            Ah, baru sadar aku. Ternyata sudah lima tahun aku menjadi guru honorer, di sebuah sekolah dasar di kampungku. Aku mengajar sejak semester akhir kuliah. Di tahun ke-empat, ku putuskan untuk menikahi Ratih. Sebab dia mau menerima aku apa adanya.
Tetapi, niat hatinya menerimaku dengan apa adanya hanya sampai di tahun pertama. Di tahun ke-dua, apalagi setelah mempunyai anak. Ratih mulai mempermasalahkan penghasilan kecilku sebagai guru honorer. Ia terus menggerutu dan mengomel karena terus kekurangan uang untuk membeli keperluan rumah tangga dan dapur.
Aku tak tahu ini salahku atau salah pemerintah. Kenapa sampai sekarang aku masih belum menjadi PNS? Padahal aku tak pernah ketinggalan mengisi formulir yang diberikan kepala sekolah, untuk mengisi data yang akan dimasukkan ke dalam data base.
Mungkin tak hanya diriku yang bernasib seperti ini. Ratusan, bahkan ribuan guru honorer di daerah lain. Nasibnya juga tak berbeda jauh dariku. Hanya mengharap “Belas Kasihan” Pemerintah agar segera di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, seperti harapan.
“Mau kerja apa? Mas bisanya cuma mengajar,” elakku.
Mengajar adalah panggilan jiwa. Aku sangat mencintai profesiku sebagai seorang guru. Aku juga punya harapan untuk memajukan kampung halamanku ini. Dengan menciptakan generasi-generasi yang cerdas melalui ilmu yang ku transfer di bangku sekolah.
“Kerja apa, kek, yang penting penghasilannya lebih besar dari ini.” Ratih menghempaskan uang yang tadi ku berikan ke atas meja. Lalu masuk ke kamar, sebab terdengar suara tangisan anakku yang tadi sedang tidur. Mungkin terbangun karena mendengar suaranya ibunya yang nyaring.
Sebelum punya anak, Ratih bekerja di warung makan Haji Bardi, sebagai pelayan. Upahnya cukup lumayan untuk menambah keuangan keluarga. Setelah punya anak, dia berhenti, karena harus merawat bayi kami. Kini hanya aku, satu-satunya menjadi tumpuan untuk menghidupi mereka.
Barulah aku tahu, alasan dia selalu marah-marah tak karuan. Ia ingin aku cari kerjaan lain rupanya. Ah, apakah aku terlalu bodoh selama ini? Sehingga tak mengerti keinginannya. Mungkin, ia ingin seperti tetangga yang lain. Yang segala kebutuhannya bisa terpenuhi. Bahkan lebih. Mereka bisa beli ini dan itu. Sedangkan istriku?
Namun, aku masih bersyukur. Ratih kuat menyimpan rahasia. Ia tak pernah bercerita ke tetangga akan keadaan rumah tangga kami. Ia selalu dapat berpura-pura, bahwa keluarga kami tak pernah kekurangan. Bahkan, terlihat sangat harmonis. Sehingga banyak keluarga lain yang terlihat iri.
Itu ku ketahui ketika aku mau membeli pisang goreng di warung Acil Rahmah. Tetapi, harus menunggu karena pisang gorengnya belum matang. Seraya menunggu, aku pun di ajak mengobrol warga lain.
“Kamu ini beruntung, Man,” kata Bang Salim. “Sudah istri cantik, pengertian lagi,” lanjutnya tampak iri.
“Maksud, Abang?” tanyaku bingung. Lalu duduk di sampingnya, di kursi panjang di dekat meja.
“Masa kamu tak paham sih, Man,” Acil Rahmah yang sedang membolak-balik pisang goreng dalam wajan langsung menyahut. “Istri kamu, tuh, tak seperti istrinya si Salim ini, yang suka marah-marah minta dibelikan ini dan itu...”
Hup..! Apakah jawaban Acil Rahmah yang spontan ini tak ada maksud untuk menyindirku juga?.
“Aku tak pernah mendengar kalian bertengkar, saat lewat depan rumahmu,” kata Bang Salim lagi. “Padahal aku tahu, penghasilanmu sebagai guru honorer, tak lebih besar dariku yang hanya penarik becak.....”
Ah, malu juga rasanya. Jadi guru, tetapi, penghasilannya lebih kecil dari penarik becak.
“Dari itu aku berkesimpulan, bahwa istrimu itu orang yang pengertian.” Bang Salim meniupkan asap rokoknya dengan kasar ke udara. “Kalau aku, hampir tiap hari bertengkar. Hanya gara-gara masalah duit.”
Oh, leganya juga rasanya. Ternyata selama ini tak pernah ada yang tahu keadaan dalam rumah tangga kami yang sebenarnya. Aku memang sering mengalah, bila Ratih sudah mulai mengomel. Ku ambil pancing, pergi ke pematang sawah. Memancing ikan papayu, ataupun saluwang. Bila beruntung, aku bisa dapat 20 ekor lebih. Itu sudah cukup untuk meredam kemarahan Ratih.
Seandainya, sikapku seperti Bang Salim–yang selalu meladeni istrinya bila marah. Dapat di pastikan, di rumahku bakal terjadi “Perang dunia ke-3” bahkan, sampai dua kali dalam sehari.
Ah, bagaimana ini? Apakah memang aku harus berhenti mengajar? Demi memenuhi keinginan Ratih. Pusing.....!.
Suara tangis anakku tak terdengar lagi. Ia sudah tertidur kembali. Tapi....ah, lebih baik aku pergi memancing saja. Kalau Ratih keluar kamar, pasti dia akan melanjutkan marahnya. Cepat ku ambil joran pancing di belakang rumah.
“Mas.....!” teriaknya.
Aku pura-pura tak mendengar. Terus ku kayuh langkah menuju pematang. Semoga saja aku dapat ikan banyak lagi kali ini.

 Sebelum berangkat ke sekolah, aku beranjak ke meja makan untuk sarapan. Saat ku buka tudung saji. Kosong. Tak ada masakkan apapun seperti biasanya. Ku lirik Ratih, dengan cueknya dia menyusui bayi kami.
            “Ibu tak masak?” ku hampiri Ratih. Tanpa senyum, ia langsung menyahut ketus.
            “Mau masak apa? Beras kita hanya tinggal setengah liter. Cukup untuk makan siang saja.”
            Aku tak lagi menyahut. Ku tinggalkan saja ia, lalu mengambil buku paket di atas meja. Kalau ku tanya lebih lanjut. Pasti jawabannya, mau beli beras pakai daun pisang. Dengan perut keroncongan, ku kayuh sepeda onthel-ku menuju sekolah.
            Pengeluaran semakin meningkat, seiring semakin besarnya anak kami. Dari mulai popok, susu, bubur, dan pakaian. Ternyata, honorku selama satu bulan, tak cukup lagi untuk membiayai keluargaku selama satu minggu.
***
            Di sekolah, aku mengajar dengan lemas. Perutku terasa sangat lapar. Melilit-lilit. Jam istirahat masih lama. Mau pergi ke kantor guru, untuk minum duluan, malu sama guru-guru yang lain. Dengan sangat terpaksa ku tahan rasa lapar ini.
            “Pak, soal nomor 1, saya tak mengerti,” kata salah seorang muridku yang duduk di bangku depan.
            Untuk saat ini, aku jauh lebih senang kalau tak ada satu murid pun yang bertanya, dengan begitu aku tak perlu membuang energiku yang hampir drop ini. Tapi, apa mau di kata, sebagai seorang guru aku harus dengan sabar menjelaskan pada murid-murid agar mereka mengerti.
            “Pak, kok, enggak di jawab, sih!” kata muridku lagi. Kelihatannya dia mau merajuk.
            “I-iya, Bapak akan jelaskan.”
            Dengan sisa tenaga yang masih ada, ku mencoba menjelaskan secara perlahan bagaimana cara menyelesaikan tugas latihan yang tadi ku berikan. Semakin lama menjelaskan, suaraku semakin lemah. Sehingga murid-muridku yang duduk paling belakang langsung protes.
            “Pak, nyaringin sedikit dong suaranya. Enggak kedengeran.....”
            Kembali ku coba mengangkat suaraku. Agar semuanya bisa mendengar. Kali ini lebih parah lagi. Pandanganku mulai menguning. Berkunang-kunang. Bahkan, huruf dan angka yang ku tulis di whiteboard terlihat buram.
            Krrrrruuuukk! Suara perutku.
            Seiring dengan tawa murid-muridku yang langsung membahana menghantam dinding-dinding  kelas. Aku ambruk ke lantai, dan semuanya gelap.
***
            Bau minyak angin menusuk rongga hidungku. Ku buka kelopak mataku pelan. Warna putih langit-langit ruangan langsung menyapa retinaku. Ku coba mengenali aku berada di mana. Apakah di rumah sakit? Atau di rumah?.
            “Alhamdulillah, Pak Herman sudah sadar, Bapak ada di ruang UKS.” suara Kepala Sekolah menjawab keingintahuanku.
            Walaupun masih terasa pusing, ku coba untuk bangun. Duduk di bibir ranjang. Bu Tini, langsung menyodorkan teh panas ke hadapanku.
            “Minum, lah, dulu, biar badanmu bertenaga kembali”
            Tanpa membantah, langsung ku tenggak separo gelas. Ah, sedikit tenang rasanya cacing-cacing dalam perutku.
            “Ini nasi bungkusnya, Pak” Pak Raji tergopoh-gopoh memasuki ruangan. Menyerahkan sesuatu dalam kresek hitam kepada Kepala Sekolah.
            Kepala Sekolah tersenyum, kembali menghampiriku. “Kata murid-murid, Pak Herman pingsan mungkin gara-gara kelaparan. Jadi kami belikan nasi bungkus ini untuk Bapak.”
            Ragu-ragu ku sambut nasi bungkus itu. Ku tatap semua yang ada di ruangan. Semua tersenyum. Ah, jadi malu sendiri. Ketahuan pingsan gara-gara kelaparan.
            Bel jam pelajaran baru kembali berbunyi. Semua guru dan Kepala Sekolah kembali untuk mengajar. Tinggalah aku sendiri di ruang UKS sambil menghabiskan nasi bungkus ini.
            Tiba-tiba aku aku tertegun, teringat wajah Ratih dan anakku. Sanggupkah mereka menahan lapar? Sedangkan aku saja pingsan. Ini baru sehari, bagaimana dengan hari-hari -->?. Pasti akan lebih sering kejadian seperti ini terulang padaku.
            Mungkin, aku harus mengingkari panggilan jiwa. Aku tak boleh egois. Ratih dan anakku merupakan amanah. Tak tega, membiarkan mereka harus mendera lapar karena tak dapat membeli beras dan susu. Sebagai seorang suami tentu tak menginginkan itu terjadi.
            Ratih benar, lebih baik aku berhenti mengajar dan mencari kerjaan lain. Tak ada yang bisa di harapkan dari gaji seorang guru honorer untuk bisa menghidupi keluarga.
Di otakku kini sudah bertebaran kata-kata yang akan ku susun dalam surat pengunduran diri.
 sumber : milis dikmenjur

Read more!

Bantu sekolahku

Mulai Senin (10/12) kemarin, saya berada di Jakarta, memenuhi undangan Kemdikbud untuk pelatihan dan sosialisasi website baru Kemdikbud bernama BANTU SEKOLAHKU. Ini adalah ikhtiar Kemdikbud untuk melakukan reformasi birokrasi dengan melibatkan berbagai kalangan untuk membangun sekolah yang lebih baik di masa mendatang.

Ada 4 menu utama dalam website Bantu Sekolahku:
(1) Cari Satuan Pendidikan, menu pencarian sekolah se-Indonesia, yang saat ini sudah berisi data 195 ribu sekolah.
(2) Laporkan Kebutuhan, untuk melaporkan apa saja kebutuhan sekolah, misalnya pengajuan penambahan fasilitas baru yang diperlukan atau laporan kerusakan agar segera dibenahi, dan sebagainya. Guru-guru juga melaporkan kalau tunjangannya belum diterima. Dan banyak kategori lain yang bisa dilaporkan
(3) Telusuri Kebutuhan, untuk memonitor, apakah laporan yang disampaikan sudah ditangani pejabat terkait atau belum. Ini memungkinkan karena setiap laporan yang masuk akan diteruskan ke pejabat yang berwenang agar cepat ditangani.
(4) Laporan Bantu Sekolahku, akan menampilkan data laporan yang masuk dan statistiknya.

Dalam sesi tanya jawab, saya langsung mengacungkan tangan dan menjadi peserta pertama yang bertanya. Saya menanyakan kesiapan jajaran Kemdikbud sendiri karena kalau website ini sudah dibuke ke publik, maka ini bisa menjadi tekanan bagi pejabat Kemdikbud, maupun dinas propinsi dan kota. Bayangkan saja, inilah kali pertama kita bisa memantau kecepatan kinerja pejabat secara online. Sebab, semua laporan akan diteruskan ke pejabat yang bertanggung jawab, dan ada tenggat waktunya kapan masalah itu harus ditangani. Pelapor dan siapa saja bisa memantau proses penanganan masalah yang dilaporkan tersebut.

Meski saya mendapatkan jawaban bahwa justru website ini dibuat atas permintaan Kemdikbud sendiri agar memacu kinerja mereka, tapi dalam hati saya masih menyangsikan kesiapan jajaran Kemdikbud, terutama yang menjadi eksekutor di lapangan, yaitu pejabat dinas pendidikan kota atau propinsi. Dan kesangsian saya langsung mendapatkan konfirmasi. Salah satu peserta utusan dari dinas pendidikan propinsi justru grogi dengan adanya website ini. Beliau mengeluh. "Ini sulit diterapkan di daerah. Kita ini kan BANYAK PENDAPAT, BERBANDING TERBALIK DENGAN PENDAPATAN", katanya. Saya hanya tersenyum. Pantas saja banyak orang diam dan takut berpendapat, sebab birokrasi sekarang memang mentalnya ya seperti itu. Banyak lapor ntar salah, malah dipecat, misalnya....

Hal kedua yang saya tanyakan adalah keamanan bagi pihak pelapor. Sudah jamak terjadi, misalnya jika ada guru yang berani melaporkan sekolahnya begini, pelayanan dinas begitu, maka pelapor bisa mendapatkan intimidasi, bahkan sanksi atau mutasi. Ini yang membuat banyak pihak mendiamkan saja kalau ada ketidakberesan yang dijumpai. Nah, di website ini ternyata memungkinkan pelapor tidak mencantumkan identitas asli secara terbuka. Yang penting menggunakan alamat email yang aktif, sebab update progres laporan akan dikirimkan via email.

Rencananya hari ini (Selasa, 11/12/2012), website Bantu Sekolahku ini resmi di-launching secara terbuka untuk umum oleh Mendikbud di gedung A Kemdikbud. Inilah saatnya Anda bisa melaporkan banyak hal, dan semoga laporan Anda ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang/

Tertarik untuk mencoba website BANTU SEKOLAHKU?
Klik di sini: bantusekolahku.kemdikbud.go.id

sumber : milisdikmenjur


Read more!

Apa yang Salah dengan Ujian Nasional?


Setelah mengelaborasi tiga jenis nasionalis, kini saya ingin melunasi utang saya untuk menjabarkan alasan mengapa saya pernah mengeluarkaan pernyataan `Ujian Nasional adalah Pembodohan'
Saya yang baru saja lulus SMA ini tentu masih merasakan betapa sia – sianya sistem evaluasi pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah ini. Dimana letak pembodohannya? Di model standarised-test yang melihat nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa. Alhasil, siswa menjadi score-oriented. Bukanlearning-oriented. 
Apa yang salah dengan standarised-test macam Ujian Nasional?
1)      Pelaksanaannya yang Rentan Kecurangan
Bukan rahasia umum lagi banyak murid yang saking takutnya atau saking malasnya berakhir dengan membeli soal dari pihak tak bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk lulus, tidak semuanya mampu menomorsatukan kejujuran.
Kalau hari ini masih banyak orang yang korupsi, bisa jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai Ujian Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih – benih generasi muda koruptif.
Bagaimana tidak? Soal pilihan ganda yang diujikan itu sendiri memudahkan para murid untuk menghalalkan praktik contek-mencontek. Keberadaan pengawas pun tidak begitu tegas menindak peserta ujian yang terlihat mencurigakan.
 2)      Indikator Keberhasilan Pendidikan yang Semu
Sekali lagi, karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar mengajar di kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Tanpa memahami secara utuh bagaimana bidang Fisika Modern dapat bermanfaat bagi kehidupan. Mayoritas dari kami menghapal rumus. Dan setelah ujian, tidak sampai seminggu, semuanya menguap. Bahkan, kota New York yang menggunakan English Reagent sebagai syarat kelulusan seorang siswa yang telah belajar 12 tahun juga telah menuai korban. 
Parameter keberhasilan pendidikan negeri ini diukur oleh nilai batas minimum yang hanya mendewakan angka statistika kelulusan dan menghasilkan kesuksesan yang semu. Buktinya makin banyaknya orang yang bisa sekolah tetapi berita tawuran antarpelajar masih santer terdengar.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena di ruang kelas tidak ada cukup ruang untuk melatih berkomunikasi dengan santun melalui media berdiskusi. Karena 2 jam mata pelajaran tidak membuka keran berimajinasi dan bereksplorasi. Kami dijejali soal – soal  yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional berbentuk pilihan gandaya yang  jelas – jelas tidak medorong kami untuk mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca.
Leadership (kepemimpinan), Entrepreneurship (kewirausahaan) ? Jangan harap. Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal penting ini diselipkan. Tapi di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan? Belum tentu. Pemerintah masih berjibaku dengan kebijakan RSBI / SBI yang menggelikan.
**
Sejatinya, keberhasilan sistem pendidikan yang nyata adalah jika hasil dari sistem yang berlaku dapat membentuk karakter manusia yang lebih manusiawi. Yang berpegang teguh pada nilai – nilai positif, tidak apatis, dan mampu berkolaborasi. Yang mampu mendongkrak nilai PDB (Produk Domestik Bruto) secara signifikan.Pendidikan yang berhasil akan memutus lingkaran setan kemiskinan, memotivasi peserta didik untuk bermimpi tinggi, serta membuat manusia tidak akan lelah belajar dimana pun dan dari siapa pun.
Secara konstitusional, reformasi kurikulum nasional adalah tugas Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Budaya). Namun, jika mereka tidak juga sadar dan membuat perubahan, mempersiapkan generasi yang lebih baik adalah kewajiban setiap individu. Karena, secara moral, seperti Anies Baswedan pernah katakan,mendidik adalah tugas setiap orang yang terdidik.
Pendidikan yang sesungguhnya benar seperti kata pepatah: Seperti padi, semakin tinggi semakin merunduk. Oleh karena itu, jangan anggap remeh nilai – nilai kehidupan yang mengagungkan kejujuran, kedisiplinan, dan kesederhanan. Mari ajarkan nilai saling mendengakan di keluarga kita, teman – teman terdekat agar tidak menggunakan kekerasan dalam menyampaikan pendapat. Luangkan sedikit waktu dan tenaga untuk mendorong murid – murid kurang mampu untuk berani bermimpi dan mewujudkan impian itu. Donasikan buku – buku yang kita punya agar budaya membaca perlahan bisa kita tumbuhkan.
Kalau Negara tidak kunjung melunasi janjinya untuk mencerdaskan bangsa, yuk kita mencerdaskan diri sendiri dan sekitar kita. :) 

sumber: http://igeacitta.wordpress.com/2012/07/10/apa-yang-salah-dengan-ujian-nasional/

Read more!

22 Januari 2012

Profesi Notaris yang Rawan Penyimpangan

DIANTARA berbagai profesi, notaris termasuk profesi yang cukup prestius. Orang yang berprofesi ini adalah pejabat umum yang dipercaya pemerintah untuk membuat akta otentik. Namun seperti profesi lainnya ada juga notaris nakal yang dengan sengaja melanggar jabatan dan menyimpang dari aturan kode etik dalam menjalankan pekerjaannya demi keuntungan pribadi. Akibatnya tidak sedikit masyarakat dirugikan akibat ulah notaris nakal.
Contohnya, lihat saja apa yang terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim) terhadap perusahaan PT Daisy Timber (DT). Menurut Ketua Pansus Evaluasi Perusahaan Daerah DPRD Kaltim Andi Harun, banyak terjadi keanehan didalam perubahan saham di PT DT.
Semula 60 persen saham perusahaan HPH ini dimiliki PT DT dan 40 persennya dimiliki masyarakat. Sebanyak 40 persen itu dibagi ke Perusda Kehutanan Silva Kaltim Sejahtera (SKS) sebesar 10 persen, Pondok Pesantren Al Banjari Balikpapan 10 persen, KUD Mufakat Biduk-biduk 10 persen, dan Koperasi Karyawan PT DT 10 persen.
Tapi, tiba-tiba komposisi saham telah berubah menjadi 85 persen saham dikuasai PT DT, sedangkan sisanya 15 persen yang dimiliki unsur masyarakat, di luar Perusda Kehutanan SKS yang justru tidak memiliki lagi saham di PT DT.
Hal inilah yang kemudian digugat oleh DPRD Kaltim dengan membentuk pansus.
Diduga hilangnya sebagian saham milik unsur masyarakat Kaltim dan hilangnya seluruh saham milik Perusda SKS terjadi melalui rapat umum pemegang saham (RUPS) pada 2007 yang tanpa dihadiri unsur masyarakat. Sedang dari PT TS diwakili Indra Wargadalem selaku kuasa hukum pemegang saham mayoritas di PT DT.
“Mestinya notaris melakukan klarifikasi, siapa saja yang hadir di RUPS. Notarisnya ceroboh, dan bisa diduga melakukan kerja sama,” tuding Andi Harun, beberapa waktu lalu.
Apa yang terjadi di PT DT mengenai kasus hilangnya kepemilikan saham dari unsur masyarakat Kaltim memang bukan merupakan satu-satunya. Karena masih banyak kasus yang sama terjadi yaitu hilangnya kepemilikan saham seperti pada kasus sengketa pengelolaan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Namun yang jelas ada pernyataan dari Ketua Pansus Persda, Andi Harun yang patut menjadi perhatian bahwa hilangnya saham dari unsur masyarakat tidak lepas dari kecerobohan notaris yang justru mengesahkan perubahan komposisi kepemilikan saham dengan akte No 16 tanggal 14 Agustus 2007.
Padahal sebagai seorang yang dipercaya dan diberikan kewenangan penuh oleh pemerintah menjadi pejabat umum untuk membuat akta-akta otentik, tugas seorang notaris dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya tentu harus hati-hati dan cermat.
Dia pun harus mematuhi rambu-rambu yang diatur dalam Undang Undang (UU) Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.
Masalahnya akta-akta otentik yang dibuat notaris adalah juga merupakan dokumen
negara dan bisa menjadi alat bukti di persidangan. Sehingga jika terjadi kesalahan atau penyimpangan sekecil apapun dalam pembuatannya oleh notaris tentu bisa berdampak sangat luas dan bisa merugikan pihak-pihak yang terkait secara
langsung dengan keberadaan akta-akta itu.
Dalam kasus lainnya, notaris juga sering dicurigai terlibat dalam penipuan dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), termasuk pemalsuan surat setoran bea (SSB) perolehan hak atas tanah dan bangunan dan surat setoran pajak (SSP). Hal itu pernah digelisahkan oleh Bupati Boyolali Seno Samudra.
“Ada laporan beberapa notaris nakal, seringkali menyiasati sehingga tidak membayar PBB. Seno mencontohkan, misalkan dijual sebuah lahan dengan tunggakan PBB lima tahun, namun oleh notaris hanya dibayar PBB satu tahun kemudian langsung transaksi,” katanya.
Akibatnya, ketika pembeli baru diminta membayar PBB tunggakan, jelas enggan membayar. Sebaliknya pemilik lama pun juga enggan bayar karena status tanah bukan lagi atas nama miliknya. “Kalau seperti itu namanya memberatkan pemerintah, padahal salah satu komponen pembangunan didapat dari pajak yang dipungut dari masyarakat,” begitu Seno.
****
DALAM UU tentang jabatan notaris ada sejumlah kewajiban yang harus dipenuhinya. Antara lain dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dengan akta-akta yang dibuatnya.
Selain itu notaris harus menjaga sikap, tingkah laku, dan menjalankan
kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi dan menjaga kehormatan serta
martabat sebagai notaris.
Meski demikian dalam praktiknya tidak sedikit notaris melanggar kewajiban
dan sumpah jabatannya. Bahkan ada notaris yang sampai melakukan tindakan
penyimpangan dengan menjurus kepada perbuatan tindak pidana dalam pembuatan
akta-akta otentik tersebut.
Terhadap pelanggaran atau tindakan penyimpangan yang dilakukan notaris ada
dua proses hukum yang bisa dilakukan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Pertama, mengadukan kepada Majelis Pengawas Notaris, atau menggugat dan melapor kepada aparat penegak hukum jika perbuatan sang notaris dalam pembuatan akta-akta dinilai sebagai sebuah tindak pidana.
Biasanya laporan pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan notaris disampaikan kepada Majelis Pengawas Notaris yang terdapat di seluruh kabupaten/kota, provinsi serta tingkat pusat ini terkait dengan dugaan pelanggaran jabatan atau prilaku dari sang notaris.
Adapun secara kasuistis bentuk pelanggarannya seperti dikutip dalam buku Himpunan Putusan Banding Majelis Pengawas Pusat (MPP) periode tahun 2005-2009 terbitan Kementerian Hukum dan HAM antara lain notaris bertindak tidak jujur, tidak seksama, tidak mandiri, dan tidak menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan hukum.
Pelanggaran lainnya yaitu notaris tidak memberikan salinan kepada pihak yang merasa berkepentingan dan tidak memberikan pelayanan yang sesuai
dengan ketentuan dalam UU tentang Jabatan Notaris.
***
SEKRETARIS Majelis Pengawas Pusat (MPP) Notaris, Martua Batubara dalam perbincangan dengan Pelita belum lama ini mengatakan, terhadap notaris yang terbukti melakukan pelanggaran jabatan dan kode etik bisa dikenai sanksi dari yang ringan, sedang, hingga sanksi berat.
Untuk penjatuhan sanksi teguran lisan dan tertulis itu wewenang Majelis Pengawas Wilayah (MPW) tingkat Provinsi setelah adanya usulan atau rekomendasi dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) tingkat Kabupaten/Kota.
MPD sebelumnya memeriksa dan kemudian menyerahkan berita acara pemeriksaan (BAP) dari pelapor dan terlapor serta rekomendasi tentang sanksi kepada MPW.
Adapun materi yang diperiksa oleh majelis pengawas notaris, kata Martua, tidak menyangkut dan menguji tentang subtansi atau materi dari isi sebuah akta. “Itu tidak. Tapi kami hanya menguji bagaimana notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai ketentuan UU dalam membuat akta atau tidak. Jadi hanya soal prosedural.”
Dikatakan Martua, soal sanksi berupa teguran lisan dan tertulis ditujukan untuk pelanggaran ringan. “Putusan juga bersifat final dan tidak bisa banding kepada MPP. Atau putusan tersebut bersifaf incrahct di tingkat MPW,” kata Martua.
Hanya saja, kata Martua, karena ada aturan dalam peraturan menteri tentang tata cara pemeriksaan bahwa setiap keberatan terhadap keputusan berhak mengajukan banding, “Maka terhadap putusan MPW yang tidak bisa banding, bisa diajukan banding. Tapi nanti kami terima dan catat dalam pengertian administratif saja.”
Oleh karena itu, kata Martua, apakah diterima permohonan banding untuk
diperiksa dalam pengertian menguji putusan MPW oleh MPP, “Ya, tentu saja tidak.
Nanti akan kami tolak permohonan bandingnya, karena sesuai ketentuan sanksi
teguran lisan dan tertulis itu bersifat final dan tidak ada upaya banding hukum
banding, itu penjelasannya,” tutur Martua.
Sementara penjatuhan sanksi pemberhentian sementara dan tidak hormat, kata Martua yang juga Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Hukum dan
HAM, adalah wewenang dari Majelis Pengawas Pusat (MPP) Notaris atas usulan MPW, yang kemudian diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM.
“Nanti keputusan pemberhentian sementara atau tidak hormat yang menetapkan
dan menandatangani Menteri Hukum dan HAM,” ucap Martua yang mengakui putusan MPP pada tingkat banding adalah terhadap pelanggaran-pelanggaran yang tergolong berat.
Kategori pelanggaran berat yang bisa melahirkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat misalnya ada kerugian-kerugian material yang besar yang dialami para pihak. Selain itu sangat jelas-jelas pelanggarannya mengancam kredibilitas profesi notaris sehingga berdampak tidak dipercayainya otaris. “Terutama jika pelanggaran-pelanggaran tersebut sampai masuk ke ranah pidana.”
Soal notaris yang dijatuhi sanksi, diakui Martua, sejak adanya Majelis Pengawas Notaris enam tahun lalu, jumlahnya hanya sedikit yaitu 24 notaris. Saat ini jumlah notaris lebih dari 10.000 orang.
“Jika dilihat persentase notaris yang nakal dan telah dijatuhi hukuman memang kecil sekali,” katanya seraya membenarkan dari 24 notaris ada dua notaris yang dikenai sanksi cukup berat oleh MPP yaitu pemberhentian tidak hormat karena ada unsur tindak pidananya. “Satu notaris di Surabaya dan satu lagi notaris di Depok,”
ungkapnya.
Sedang notaris lainnya dikenai sanksi bervariasi. Mulai teguran lisan, tertulis, dan pemberhentian sementara. Khusus notaris yang diberhentikan sementara antara tiga sampai enam bulan, maka selama tidak aktif akan ditunjuk notaris penerima protokol sementara oleh menteri berdasarkan usulan dari MPD.
Protokol notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris
Notaris prokol sementara ini, ucap Martua, yang akan mengganti peran notaris
yang terkena sanksi sementara. ”Karena protokol yang berada di bawah penguasaan
notaris ada fungsi pelayanannya yang harus diberikan kepada masyarakat. Sehingga tidak boleh hanya karena notaris berhenti sementara, kemudian kegiatan protokol notaris juga ikut berhenti.”
Adapun notaris yang terkena sanksi pemberhentian sementara bisa mengajukan lagi kepada menteri untuk aktif menjadi notaris setelah masa hukumannya berakhir. “Nanti menteri yang akan mempertimbangkannya.”(m juhriyadi)

sumber :http://www.pelitaonline.com/

Label:


Read more!

Rejeki Halal


MAKANAN yang halal adalah makanan yang diperbolehkan oleh syariat untuk kita konsumsi. Makanan yang halal juga makanan yang diperoleh dengan cara yang baik dan halal pula. Bekerja mencari sesuap nasi dan karunia rezeki merupakan kewajiban tiap insan dalam kehidupan di dunia.

Sayangnya, tidak setiap orang meyakini bahwa jatah rezekinya di dunia ini telah disediakan oleh Allah. Akibatnya, karena gelap mata, ia melakukan segala cara untuk memperoleh beberapa lembar rupiah lewat cara yang tak terpuji seperti mencuri, merampok, melakukan korupsi, dan sebagainya.

Padahal, telah jelas larangan dalam al-Qur`an perihal mengonsumsi makanan yang diperoleh dengan cara illegal dan tak bertanggungjawab seperti di atas.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa`: 29).

Ketika seseorang memasukkan makanan dari jalan yang haram, masuk ke dalam aliran darah, lalu menjadi daging, maka potensi berbuat kebaikan menjadi meredup, semangat berbuat kebajikan menjadi susut, memiliki kans besar menjadi penghuni neraka, dan kelak ia akan menghadapi persidangan hisab dengan sangat berat.

Ibnu Ruslan dalam kitab Zubad-nya mengatakan yang artinya: “Ketaatan yang bersumber dari makanan yang haram seperti sebuah bangunan yang dibangun di atas ombak.”

Sebaliknya, manakala seseorang menjaga mutu dan kualitas makanan yang akan ia konsumsi, mengetatkan perhatiannya dalam hal apa yang boleh dan tidak masuk ke dalam perutnya dan keluarga yang menjadi tanggungannya, ia akan memperoleh manfaat buah dari ikhtiyarnya menjaga makanan dan minuman yang masuk.

Setidaknya, ada lima buah manfaat dalam makan makanan yang halal.

Pertama, seseorang yang mengonsumsi makanan halal akan mudah bangkit guna melakukan ketaatan dan ibadah.

Disebutkan dalam sebuah atsar yang berbunyi, “Barangsiapa yang memakan makanan yang halal, anggota tubuhnya akan mudah melakukan ketaatan dalam keadaan suka atau tidak suka. Dan barangsiapa yang memakan makanan yang haram, suka atau tidak anggota tubuhnya akan melakukan kemaksiatan.”

Ketaatan maupun kemaksiatan berbanding lurus dengan makanan dan minuman. Hasilnya terlihat jelas. Memakan makanan yang halal, diperoleh dengan jalan yang halal, menjadikan ketaatan mudah dilakasanakan. Berbeda dengan itu, memasukkan makanan yang haram, membuat tubuh sangat mudah pula menyimpang dari jalan kebenaran.

Habib Abdullah bin Husain bin Thahir pernah mengatakan, “

Memakan makanan yang halal adalah sumber kebaikan yang besar. Dampak suatu ibadah tidak dapat muncul kecuali jika asupan makanannya adalah baik dan tidak bercampur dengan syubhat.”

Kedua, doa orang yang mengonsumsi makanan yang halal mudah dikabulkan oleh Allah. Dalam suatu kesempatan, Sa`ad bin Abi Waqqash meminta kepada Rasulullah SAW agar berdoa kepada Allah, minta dijadikan sebagai orang yang doanya mudah dikabulkan oleh-Nya. Lalu, Rasul SAW berkata kepada Sa`ad, “Perbaiki makanan yang engkau makan niscaya engkau menjadi orang yang doanya mudah dikabulkan.” (HR. Thabrani)

Ketiga, keturunan orang yang menjaga mutu makanan yang dikonsumsi dapat melahirkan keturunan yang shalih-shalihah. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam bukunya al Ghun yah, mengatakan, “Bila telah tampak tanda kehamilan pada diri seorang perempuan hendaklah suaminya betul-betul menjaga kebersihan makanannnya dari hal yang haram atau syubhat agar anak itu tidak ada jalan bagi setan untuk masuk dalam penciptaannya.”

Lebih lanjut, dikatakan oleh Al-Jailani, “Yang paling baik adalah menjaga makanan sejak ketika menikah, agar selalu dalam kebaikan sehingga keluarga dan anaknya dapat selamat dari pengaruh setan di dunia dan selamat dari hukuman di akhirat, bersamaan dengan itu, akan lahir anak yang shalih, berbakti kepada kedua orangtuanya, dan taat kepada Tuhannya, dimana semuanya itu dapat diraih dengan menjaga kebersihan makanan.”

Dikisahkan, ada seorang mantan budak kurus yang dimerdekakan oleh tuannya. Namanya Mubarak. Setelah merdeka, dia bekerja pada seorang pemiliki kebun sebagai buruh. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya bersama dengan beberapa sahabatnya. Dipanggillah Mubarak, “Petikkan kami beberapa buah delima yang manis.” Bergegaslah Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Dia memetik beberapa buah delima, diserahkannya kepada sang majikan. Ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik Mubarak, tak satupun ada yang manis. Semuanya masam. “Apa kamu tak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?,” tanya sang majikan dengan nada marah.

Mubarak menjawab, “Demi Allah Tuan, saya tidak pernah mencicipi satu buah pun. Bukankah Anda hanya memerintahkan saya menjaga dan tak pernah mengizinkan saya mencicipinya? Sehingga saya tak pernah tahu, mana delima yang asam dan manis.” Sang tuan merasa kaget dan tak percaya, bertahun-tahun bekerja di kebun itu, tapi Mubarak tak pernah makan satu buah pun.

Singkat cerita, selang beberapa hari, sang tuan datang menemui Mubarak untuk dinikahkan dengan putrinya, “Aku tidak mendapati laki-laki yang lebih bertakwa kepada Allah melebihi dirimu. Maka aku akan menikahkan putriku denganmu.” Dari rumah tangga yang dibina Mubarak atas dasar ketakwaan tersebut, lahirlah keturunan yang shalih yang di kemudian hari menjadi seorang ulama besar, ahli hadits, pejuang yang pemberani, seorang kaya yang dermawan, yaitu Abdullah Ibnu Mubarak.

Keempat, hati menjadi terang dan penuh hikmah. Diriwayatkan, “Barangsiapa makan makanan yang halal selama empat puluh hari, Allah sinari hatinya dan mengalirkan sumber-sumber hikmah dari hati dan lidahnya.”

Kelima, makanan yang halal dapat menjadi obat penyembuh bagi penyakit yang diderita. Salah seorang Tabi`in bernama Yunus bin Ubaid mempunyai pengalaman menjadi makanan yang halal sebagai obat. Ketika ia memperoleh satu dirham dari jalan yang halal, ia menggunakan uang tersebut untuk membeli gandum. Gandum tersebut digiling. Setelah selesai masak, ia berkeliling di sekitar tempat tinggalnya, menawarkan bantuan pengobatan bagi orang-orang sakit yang sudah tidak dapat diobati oleh dokter. Caranya, ia suapkan gandum tersebut kepada ‘pasiennya.’ Kata Yunus, “Orang tersebut dapat sembuh pada waktunya.”

Dalam pengalaman yang berbeda, Imam Syafi`i yang bertandang ke kediaman muridnya, Imam Ahmad, mendapat protes dari putri Imam Ahmad. “Tidakkah Ayah perhatikan saat kita makan malam bersama setelah Isya, dia makan begitu banyak?”

Imam Ahmad yang mendapat pertanyaan tersebut, menemui Imam Syafi‘i untuk memastikan kebenaran cerita sang putri. Kata Imam Syafi`i, “Putrimu benar tapi kenyataannya tidak seperti yang dia lihat. Aku makan banyak karena tahu makananmu halal dan kau orang baik, dermawan. Makanan halal yang disajikan orang dermawan akan menjadi obat. Waktu itu aku banyak makan bukan untuk mengenyangkan diri, melainkan agar aku sehat.”

Marilah sahabat-sahabat semua, kita bekerja menjemput rezeki Allah dengan cara-cara yang dapat dibenarkan, cara yang halal, jangan risau dengan rezeki kita, karena telah ada jatah yang pasti dari Allah. Jangan kita menghinakan diri sendiri dengan melakukan pekerjaan haram, memasukkan yang haram ke dalam perut, karena semua itu akan ada pertanggunganjawab di sisi Allah.*

Oleh : Ali Akbar staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang- Jawa timur

sumber :http://hidayatullah.com


Read more!

24 Desember 2011

Cerita Mengharukan 1

SAYA TEMUKAN SOSOK IDEAL PEGAWAI PAJAK pada mendiang suami saya. Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang hampir sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.

Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati kami. Dafi Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari 2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi, Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang saya menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.

Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya tidak mengerti apa maksudnya).

Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah bekerja selama satu dekade , kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu –bahkan hingga kini. Saya bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah dan teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak dan betapa ribetnya mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.

Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai seorang istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.

“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya Ayah akan memberikan yang terbaik untuk kami,” jawab saya.

“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis saat itu.

“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.

“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu akhirnya terjawab dengan modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada 2006, sampailah juga gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu itu Abang dinas di Pekalongan.

Abang orang yang sangat sabar, tenang, tak banyak bicara. Malah terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya, saya tahu ia tak diam. Selama kami bersama, belum pernah ia marah sekalipun. Ia laki-laki yang hangat dan update –selalu tahu semua hal. Diajak segala macam diskusi, pasti langsung nyambung apapun topiknya, apalagi soal agama. Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia orang yang ngocol, kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar kesayangan, ia sering bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya, melucu sampai tertawa terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami rindukan.

Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak yang sering dinyanyikan, “Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian,melainkan yang beriman dan yang beramal sholeh, ingat lima perkara sebelum lima perkara, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati…”

Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak diragukan. Saya acungi jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil enam bulan anak pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia masih bekerja larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di Pekalongan. Opname yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu hari-hari akhir penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah solusi yang kami pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak usah dilakukan pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu. Namun, bedrest hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen fingerprint. Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja, kenapa?” saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok mikirin kerjaan, gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?”

Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan saya. Alhasil, dengan keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit itu ujian dari Allah. Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,” jawabnya simpel.

Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui dengan baik. Lalu, Abang mutasi ke Palembang. Satu sisi lebih jauh dengan kami. Tapi di sisi lain, lebih dekat dengan kampung halamannya. Alhamdulillah, Agustus 2010, kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor Pelayanan Pajak BUMN, kantor pajak dengan penerimaan terbesar, yang perlu effort lebih tentunya. Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah yang Abang ambil adalah yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua saya–
mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”. Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam setiap memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai tergoda dengan duniawi ya.”

“Kenapa suamimu gak minta pindah di Bandung saja? Kan bisa lewat Si Anu. Yah, minimal setor satu Kijang lah,” salah satu teman saya yang suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi. Saya tak tahu maksud ucapannya, apakah ia bercanda atau serius.

Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum saat saya ceritakan hal itu. “Sudah, gak usah dipikir. Allah punya rencana yang lebih indah untuk kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang Pajak sudah modern udah gak perlu kayak gitu lagi kok. Yang penting kerja kita bagus. Apapun yang kita lakukan karena Allah. Malah jadi ibadah kan?”

Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini mengecewakan banyak pihak yang telah bekerja keras. Di satu sisi justru suami saya senang. “Pada akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,” tuturnya. Di sisi lain, kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang Pajak seperti Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah modern, sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya yakin. Secara tidak langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di lingkungan saya.

Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin perfeksionis. Ia ingin segala hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak mau meninggalkan cela pada pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah bila harus menyetrika bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang lebih puas dengan hasil setrika sendiri.

Februari 2011, Abang mengemban amanat, jadi satu anggota tim yang menyusun sebuah buku coaching di Kantor Pusat. Ia siap mengutarakan sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program itu. Sayang, dalam perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong takdirnya. Satu titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan anak-anak.

* * *
DUA KALI KAMI tertunda berangkat haji. Pada akhir 2008, kami sudah siap. Namun, Abang mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang tugas dari Palembang menuju Jambi. Tabungan kami untuk Ongkos Naik Haji pun akhirnya terpakai untuk biaya mengganti mobil dinas Livina yang ringsek. Abang tak mau memanfaatkan fasilitas asuransi kendaraan kantor. Dia memilih bertanggung jawab sendiri. Uang bisa dicari, mungkin Allah belum berkehendak. Yang penting Abang selamat. Tahun 2009 pun kami lewatkan. Maklum, masih belum cukup biaya untuk melunasi. Hingga akhirnya, 2010, saya mantap naik haji. Berapapun biayanya. Apapun kendalanya. Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami ingin beribadah.”Alhamdulillah, ada jalan walaupun kami harus memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun Abang masih ragu, “Bunda, apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal, dengan gajinya sekarang, mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH. Namun tidak demikian. Abang masih bersikeras dengan alasannya. Alhamdulillah akhirnya saya dapat memantapkan hati Abang. Dengan izin-Nya, kami bisa melunasi ONH dari hasil tabungan gaji pokok PNS, bonus, dan sedikit tambahan pinjaman. November, tiga bulan sebelum kehilangannya, berangkatlah kami berdua.
Sepertinya Allah sudah menyusun rencana dengan sangat indah. Empat puluh hari saya bersamanya di tanah suci adalah waktu yang sangat indah dan tak dapat saya lupakan. Selama kami berumah tangga dari awal menikah, kami belum bisa kumpul bersama. Saat itulah saya merasakan indahnya kebersamaan yang tak ingin terpisahkan. Sempurna rasanya sebagai istri yang bisa melayani dan mengurus suami. Begitupun Abang. Ia menunjukka keceriaan yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Abang adalah tipe orang yang sangat perhatian dan romantis. Satu kali kami hendak salat dan saya berdiri di samping belakangnya. “Bunda salatlah di saf (barisan) perempuan.” “Tapi, Ayah… Bunda sendirian.” kebetulan saat itu suasana padat sekali di Masjidil Haram. Saya sempat mengelak.

“Berjihadlah, ayah bertanggung jawab mendidik Bunda dan anak-anak.” Sedih rasanya mendengar jawaban itu. “Bunda harus terbiasa sendiri,” sambung Abang.

“Kenapa, Yah?”
“Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
“Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
“Ada Allah yang menjaga anak-anak,” Senyumnya membuat hati saya merasa tenang dan yakin. Ternyata ini pesantren yang Allah berikan lewat ilmu agama yang baik dari Abang. Saya dapat pengetahuan banyak.Terima kasih ya Rabb, Kau telah memberikan kesempatan untuk kami dapat beribadah bersama. Sungguh, momen itu tak mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat yang kami terima sampai kami tiba ke tanah air dengan selamat. Hadiah terindah dari Tanah Suci, saya positif hamil.

Beberapa peristiwa merupakan pertanda yang tak saya sadari. Tanggal 9 Februari 2011, dua pekan sebelum hari celaka itu, kami nonton teve bareng. Ada berita tentang selebritis yang jadi politisi kehilangan suaminya –yang juga artis cum anggota Dewan. Sang istri menangis mengelus-elus nisan suami. “Kalau Bunda seperti itu gimana, ya Yah? Anak-anak masih kecil…” spontan saya nyeletuk dengan maksud bercanda.

Entah kenapa rasa humor yang seperti biasanya, hilang tergantikan dengan tausyiah. “Itu yang tidak boleh,” tuturnya tenang, “menangis, meratapi di pusara tidak baik. Yang diperlukan orang yang telah meninggal adalah doa dari yang masih hidup, bukan bunga yang wangi atau nisan yang indah. Saat Nabi Muhammad ditinggal istri tercinta Khadijah pun beliau merasakan kehilangan dan hanya berkabung tiga hari. Boleh menangis, asal jangan meratap.”

“Hidup di dunia hanya sementara, justru hidup setelahnya yang akan kekal. Perbanyaklah bekal untuk di akhirat. Tiada daya upaya manusia untuk mencegah bila Allah telah berkehendak untuk mengambil nyawa manusia. Jangan takut, Allah lebih dekat dari urat nadi kita. Banyak baca buku tentang agama, yah Bun. Biar tambah banyak ilmunya.”
Dengan senyuman khas yang menenangkan, Abang tak pernah seperti sedang mengajari bila ia sedang berbagi ilmu. Abang berujar, “Tolong jaga anak-anak. Didik agamanya dengan baik. Istikamahlah karena bila agamanya kuat dan takut kepada Allah, dia bisa menghadapi dunia dengan ilmu. Bukan dengan harta dan ingat Allah selalu tahu apa yang kita perbuat.”

* * *
SEMENJAK PULANG ZIARAH, Abang memperlakukan saya begitu istimewa. Mungkin karena saya sedang hamil. Saya begitu dimanjanya. Hingga Minggu malam itu (20/2)… Kehamilan dua anak sebelumnya, Abang tak pernah menuruti keinginan saya, sekalipun merajuk jika meminta sesuatu. Tapi malam itu… “Kita makan di luar yuk. Bunda pasti pengen apa deh. Kan lagi hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?” ujarnya setengah memaksa untuk pergi. Akhirnya kami pergi makan di sebuah resto ikan bakar favoritnya. Karena lama tugas di Makassar, kuliner ikan wajib sebulan sekali buat kami. Abang memesan menu lebih banyak dari biasanya. Alasannya, bisa dibungkus untuk sahur. Alhamdulillah, Senin-Kamis tak pernah terlewatkan untuk puasa sunah. Apa ini yang disebut pertanda? Hendak berangkat ke resto, kami mendapati ban mobil kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar rumah nih. Ban kempes, kalo ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah kesiangan rapat di Kantor Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak terlambat? Gak enak dong.”Lagi lagi dengan senyumanya.

Tengah malam, Kayyisah panas dan muntah. Rewel sekali. “Dede (panggilan Kayyisah) pengen tidur sama Ayah aja…. Pengen dipeluk Ayah… aku sayang Ayah. Ayah gak boleh kerja,” rengeknya. Abang pun membuka baju, dan memeluk Dede. Dan Alhamdulillah panasnya reda. Dede pun terlelap.

Pukul setengah tiga dini hari, kami bangun salat tahajud. Biasanya, kami selalu berjamaah. Setelah berdoa, kami berpelukan, saling meminta maaf. Ritual itu tak pernah absen kami lakukan sehabis salat. Tapi kali ini Abang minta salat sendirian. “Kita pisah yah. Ayah mau memperbanyak salat tahajudnya.”

“Kenapa?” pertanyaan itu mestinya saya ungkapkan. Tapi tertahan di hati saja.

Ikan bakar yang seharusnya jadi menu sahur tak Abang sentuh. Malah, Abang meminta buah. “Bun, tahu gak buah-buahan itu makanan di surga. Jadi Ayah cukup sahur dengan apel aja.” Saya tak bertanya, dua minggu terakhir ini Abang bertausyiah tentang kematian terus. Keanehan yang lain, Abang menitipkan Dede sama Mbak (pengasuh anak kami) berulang-ulang.

“Tak seperti biasanya, Bapak nyuruh jagain Dede berulang gitu. Kok kaya mau kemana aja,” ujar Mbak kepada saya. Jam 03.30 pagi. Saya dan Dafi mengantarnya hingga ke pool travel Xtrans di Metro Trade Center. Keanehan yang lain terjadi lagi. Abang tak mau memandang saya. Seperti orang yang sangat sedih mau pergi. “Ayah mau salat di mobil saja. Bun, hati-hati ya. Titip anak-anak,” itu kalimat terakhirnya. Biasanya Abang minta berhenti di rest area guna salat subuh.

Tepat pukul 04.30. Ring tone hape yang sengaja saya bedakan berbunyi. Abang menelepon saya. Sayang, tak sempat saya angkat karena rasa kantuk. Kami begadang karena Dede rewel semalaman. Seandainya saja saya bisa angkat telepon itu, mungkin saya bisa mendengar suaranya yang terakhir kali…

Pukul 04:35. Menurut catatan kronologis Jasa Marga, peristiwa di Tol Cipularang Jalur B Km 100 itu terjadi. Tabrakan karambol yang melibatkan satu truk, minibus travel, dan sebuah mobil, menewaskan tiga orang. Semuanya penumpang travel. Abang meninggalkan kami dalam keadaan puasa. Dan mungkin tengah mendirikan salat subuh. Dalam perjalanan memenuhi tugas.

Di mata saya, Abang wafat dalam jihad. Wallahualam –Tuhan yang punya ketentuan.

Allah punya kehendak lain. Allah lebih mencintai Abang daripada kami. Dia lebih berhak atas Abang daripada kami. Ajal, jodoh, dan rejeki hanya Allah yang tahu kapan dan di mana. Takkan pernah ada yang bisa menghalangi atau pun tertukar. Bila Allah telah berkehendak, tak ada yang mampu menahannya. Allah memberi kesempatan untuk saya agar lebih dekat dan banyak beribadah lagi. Insyaallah ini menjadi ladang ibadah.
Menyangkut kejadian ini, jangan ditanya rasa sedih. Yang saya rasakan hingga saat ini, air mata sepertinya tak bisa kompromi, seakan mendesak keluar, jika mengingatnya. Namun, saya ingat pesan almarhum. Saya tak boleh larut dipermainkan pikiran “seandainya-seandainya”. Itu semua sudah kehendak-Nya. Tak kurang dan tak lebih. Sudah begitu adanya. Hanya doa saya dan anakanak yang bisa kami berikan untuk kekasih kami… Ismail Najib.

Belakangan saya mengetahui bahwa di perjalanan, Abang sempat berkirim posting pada sebuah
grup teman kerja di Blackberry. Itu posting terakhirnya.

* * Feb 21 Mon 04:04 * *
Najib:
Dengar suara adzan selalu tdk dihiraukan atau nanti sajalah
Tp dengar suara HP woow .!! :p
Lgsung segera diambil,
Astgfirullahal’adzm. . : (

Baca Al-qur’an
Seperti orang mengeja
Tapi kalo baca bbm Buseett lancarnya,.:$
Astagfirullahal’adzm. .

Beli pulsa siapa takut !
tp kalo sedekah katanya kantong lg sekarat
Astagfirullahal’adzm. .

Pegang tasbih 1x dlm sethun
tp pegang HP dibawa selalu, walau tidur sekalipun.
Astagfirullahal’adzm. .

sama2 Insyaf yuuukk.!!! :p
Ada baiknya bbm ini disebarkan, mumpung grtisan, dan qm
pun mendapat pahala karna
saling mengingtkan sesama
* * *

SABTU (19/2), DUA HARI SEBELUM KEJADIAN, kami kontrol kandungan. Usia kandungan menginjak bulan keempat. Keinginan Abang untuk dikaruniai anak kembar putri membuat dokter Sofi geli dibuatnya. Tak seperti biasanya, dia ngebet ingin tahu apa jenis kelaminnya. “Perempuan atau laki-laki, Dok? Satu apa kembar Dok?”

“Bapak mau ke mana sih? Kayak mau pergi jauh aja. Banyak banget nanyanya. Masih empat bulan nih…”kata Dokter bercanda. “Pengen tahu, apakah doa saya makbul atau gak.” Setelah cek, diketahui calon anak kami rupanya perempuan. Tapi, “bukan kembar,” tutur Dokter. “Gak apa-apa. Tahun depan bikin lagi yah Bun,” jawabnya sambil melirik saya.
“Enak aja,” sahut saya bercanda. Rasa gembiranya tak bisa ditutupi. “Ayah makin semangat kerja nih,” ujarnya, masih dengan senyuman mautnya.

Sebulan kemudian, saya kembali kontrol. Kali ini… sendirian. Juga untuk lima bulan ke depan hingga melahirkan. Dan bertekad membesarkan anak anak saya sendiri. Ini masa yang sulit untuk saya bisa melaluinya. Kesedihan selalu saya tutupi. Dalam keadaan hamil besar sendiri tanpa suami. Betapa sesak rasanya, ujian ini begitu berat pikir saya. Terpuruknya saya seperti hilang separuh nyawa. Tapi rasa sayang pada Almarhum membuat saya bertekad harus bisa dan kuat!

Satu lagi yang membuat saya bangga, Abang tak pernah absen salat berjamaah di masjid. Sampaisampai di kompleks masjid kami, Al-Hasan, Abang disebut “Pak Ustad”. Para jamaah sudah tahu
kebiasaan Abang : paling lama berdoa setelah salat.
* * *

BAGAIMANA CARANYA? Apa saya sanggup membesarkan tiga orang anak ini? Menjaga dan mendidik mereka seperti wasiat Almarhum? Dan ternyata, perkataan Abang benar, “Allah yang menjaga.” Ini yang membuat kami bangkit menjalani kehidupan selanjutnya. Saya bersyukur, Abang mengajarkan “ilmu ikhlas”. Masih banyak ilmu yang diberikannya yang baru saya mengerti sekarang sepeninggal Almarhum . Ternyata keikhlasan berbalas pertolongan dari arah yang tak disangka.

Saya sempat down sewaktu mengurus segala sesuatu terkait hak suami saya. Sangat ribet. Banyak dokumen yang perlu dilengkapi. Proses di Kelurahan dan instansi lain cukup berbelit. Saya dihadapkan pada birokrasi yang sangat panjang tanpa kejelasan prosedur. Namun rupanya banyak uluran tangan yang membantu. Allah memberikan jalan kemudahan bila kita berpasrah dan ikhtiar. Saya bersyukur karena masih bisa bekerja. Kini, sayalah yang harus mencari nafkah demi anak-anak. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dengan keadaan istri yang sama dengan saya dan tidak bekerja?
Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman seangkatan Abang (Mas Pank dan Mbak Tri).

Teman sepaguyuban telah banyak membantu dan memberikan support (baca boks “Pak Najib di Mata Mereka” –peny). “Apakah saya berhak menerima ini? Jika memang berhak, Alhamdulillah,” saya bertanya kepada Mas Iwan, perwakilan teman seangkatan Abang, yang menyerahkan santunan. Biaya sekolah Dafi juga terbantu berkat mereka. Terus terang, saya kaget dan bersyukur, sepertinya saya tak sendiri. Ada keluarga baru yang menemani kami.

Saya juga berterima kasih kepada teman-teman sekantor Abang. Mbak Rini (Ibu Dwi Setyorini, Kasubag Umum –peny) dan tim Waskon mengurus pencairan hak-hak almarhum. Sejak Februari, baru Oktober ini selesai. Pak Joga (Bapak Joga Saksono, Kasi Pengawasan dan Konsultasi –peny), serta Pak Yond Rizal (Kepala Kantor –peny). Kepala Kantor yang telah mengusulkan Abang memperoleh predikat anumerta. Status anumerta menegaskan bahwa Abang mangkat sewaktu menjalankan tugas.
* * *

TAK ADA YANG BANYAK BERUBAH dari rumah ini. Kecuali tinggi lantai yang terpaksa saya naikkan 50 cm. Maklum, dua tahun terakhir, tiap hujan turun, kompleks kami dilanda banjir. Air masuk hingga semata kaki. Rencana menambah tinggi lantai sempat saya utarakan. Itu pun saya lakukan karena masa kelahiran si bungsu kian dekat. Kasihan si kecil. Namun pesan mendiang tetap terngiang, “Bagaimana dengan perasaan para tetangga? Kalau rumah kita tinggi sendiri,
bagaimana dengan mereka? Kita jangan egois, Bunda.” Bahkan, untuk mengganti cat dinding yang baru, Abang harus tengok kiri-kanan dulu.

Pernah ada teman nyeletuk, “Gue aja udah punya rumah tiga. Suami lu kan Kasi.rumah dipinggiran ” Mendengar hal itu, nasihat beliau sederhana, “Gak usah ngiri. Kita harus bangga dengan apa yang kita punya.syukuri yang ada, Jangan harap suamimu akan mengambil sesuatu yang lebih dari haknya.” Yah, rumah ini sejak kami beli dan tempati pada akhir 2005, masih harus kami cicil hingga 10 tahun ke depan.

Tak ada yang banyak berubah dari rumah ini. Pigura mungil foto perkawinan kami masih terpajang. Kami memakai sepasang baju dan kebaya biru nyala segar. Dua buah foto kami berdua, saling berpelukan dan tersenyum juga masih ada. Foto keluarga, waktu itu masih dua anak, kami kompak memakai putih-putih, bertengger manis. Ada juga foto Dafi, alangkah gagahnya ia, saat wisuda TK Al-Biruni angkatan 2010-2011. Si sulung juga mempersembahkan piala Juara Kedua Lomba Gerak dan Lagu Geordase TK se-Kecamatan Penyileukan 2011. Di atas meja belajar Dafi dalam kamar, senantiasa berdetak jam dinding warna biru dari KPP Madya Palembang.

Semuanya masih ada pada tempatnya, seperti saat Abang masih bersama kami. Tak ada yang berubah… kau selalu di hati kami. Minggu malam itu, sebelum berangkat menjemput takdirnya, Abang menulis surat di buku Dafi dengan tinta ungu.

SURAT untuk:
Dafi jagoan ayah

Dafi, ayah mau berangkat kerja dulu ya.
Abang jagain bunda sama dede yah.

Abang emam nya yang banyak ya..
jangan lupa minum susu dan sikat gigi
kalau mau bobo.

Belajar yang rajin
jangan lupa belajar solat.

da dah Abang…
peluk sayang
dari ayah
(Ayah Najib)
ttd

Tak akan ada yang berubah dari rumah ini. Kecuali anak -anak yang bertambah besar. Anak-anak tetap ceria. Bermain bersama teman mereka di depan televisi di ruang tengah. Saya tak mau menangis di depan mereka, tiap kali mengingat Abang. Kalau kepergok Dafi, dia mengingatkan, “Bunda nangis ingat Ayah yah? Kata Bu Guru, kalau teringat ayah kita mesti berdoa, Bunda. Ayah sudah di surga, Bunda. Berarti Ayah sudah berkumpul dengan Nabi Muhammad. Kan masih ada Abang (panggilan Dafi), Kaka (panggilan Kayyisah setelah punya adik) dan Dede. Kita berjuang bersama-sama, ya Bun. ” Saya takjub mendengarnya. Anak seusia Dafi sudah bisa bertutur seperti itu.

Satu lagu sering dinyanyikan Almarhum untuk saya. Dan sekarang saya persembahkan untuk beliau: “Takkan Terganti”. Reff: “Meski waktu datang dan berlalu hingga kau tiada bertahan semua tak kan mampu merubahku hanyalah kau yang ada direlungku hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta kau bukan hanya sekedar indah kau tak akan terganti…”

Delapan bulan sudah berlalu tanpa kehadirannya,Yah memang tak ada yang banyak berubah dari rumah ini begitupun dengan hati kami, Kami ingin sekadar menganggap Abang sedang berangkat kerja. Hanya, Ayah masih belum kunjung pulang. Selamat jalan Ayah akan kubesarkan dan kudidik anak kita seperti yang kau inginkan,semoga Allah selalu melindungi kami dan Semoga kita dapat berkumpul di surga kelak. Kau akan selalu ada bersama kami Peluk sayang kami yang menyayangimu,
Bandung, Oktober 2011

Pak Najib di Mata Mereka
Kolega, kawan karib, dan teman seangkatan memberi testimoni soal seorang Ismail Najib. Tim Buku Berkah mewawancarai mereka. Agus H Purnomo, moderator milis dan Sekretaris Paguyuban Sembilan Lima Satu Hati (Slash)
“Kami, teman seangkatan penerimaan dari Sarjana tahun 1995, tentu kehilangan salah satu orang terbaik. Ia punya jiwa kepedulian yang cukup tinggi. Tulisan posting beliau di milis bermanfaat, berisi nasihat. Bahkan posting terakhirnya.
Paguyuban ini terbentuk dengan misi sosial sebagai solidaritas terhadap kawan yang mendahului kami. Mereka punya keluarga. Dan anak-anak mereka adalah putra-putri kita juga. Kami berkomitmen memberi santunan beasiswa tiap bulan kepada anak teman yang wafat, sejak usia SD hingga SMA kelak. Lebaran kemarin, kami juga berbagi rasa dengan anak-anak tersebut. Dana kami kumpulkan dari iuran bulanan. Sejak Juni 2008, kami melembagakan paguyuban ini jadi Yayasan.

Tapi, kami tetap netral. Ini bukan wadah gerbong-gerbongan angkatan tertentu. Awalnya, kami berjumlah 641. Perkembangannya, ada teman yang resign dari DJP atau Kementerian Keuangan. Anggota kami tinggal 594. Walau bagaimanapun, kami tetap satu ikatan keluarga besar. Sebelum Najib, tiga teman sudah dipanggil –berarti kini kami kehilangan empat sahabat. Namun kami baru menyantuni enam anak dari tiga teman. Kami masih menelusuri keberadaan keluarga alm. Muji Haryadi. Muji resign dari DJP, sempat mengajar di UIN. Kabar terakhir dia ambil S3 di IPB, meninggal pada 2009. Anak-anak beliau juga berhak mendapat santunan seperti lainnya.”

Ahmad Rivai, teman satu kelas kawan sekamar
“Kami bareng di Diklat Pajak Terpadu. Belajar juga bareng. Najib sering menjadi imam salat – orangnya khusyuk. Dia awalnya di KPP Tanjung Priok dan saya di Jatinegara. Kami satu kantor di Kelapa Gading ketika menjadi Kasubsi (Eselon V). Saya di Orang Pribadi sedangkan Najib di Pengolahan Data dan Informasi. Waktu itu masih dikenal bagian “basah” dan “kering”. Data termasuk yang “kering”. Tapi Najib tak pernah mempermainkan kewenangan demi keuntungan pribadi. Setiap kami butuh data, dia selalu respon dengan cepat dan penuh tanggung jawab. “Data ini harus dimanfaatkan untuk penerimaan negara,” kata dia. Orangnya bersih, lurus, jujur, smart, bersemangat. Terus terang, saya iri atas semua kebaikannya.

Promosi menjadi Kasi (Eselon IV), kami berpisah. Najib di Makassar, saya di Purwakarta. Di sana, Najib tinggal selama lima bulan di rumah mertua saya. Setelah empat tahun, dia pindah Pekalongan. Lalu, kami bertemu kembali di Palembang. Orang yang pertama kali dihubungi adalah saya. Dia di KPP Madya, saya di Kanwil Sumatra Selatan. Kami satu kamar di rumah dinas KPP Palembang Ilir Timur. Dia selalu membangunkan saya salat tahajud maupun subuh. Mutasi lagi, saya di Madya Bekasi dan dia di BUMN. Baru-baru ini saya bermimpi, dia dimandikan sebelum dikuburkan. Tapi dia bangun dan menyapa saya, “Apa kabar?” Banyak kawan mempersamakan saya itu Najib dan Najib adalah saya. Saya menangis mengenangnya.”

Joko Widodo, Account Representative KPP BUMN
“Saya salah satu bawahan beliau di Seksi Pengawasan dan Konsultasi I. Setiap mendengar azan, Pak Najib langsung berhenti mengerjakan segala hal. Lalu bergegas ke masjid. Mestinya semua pegawai muslim mencontoh itu.”

sumber : http://sepedakwitang.wordpress.com/2011/12/08/kekasihku-pergi-saat-berjihad-kisah-pegawai-pajak/

Label:


Read more!