Profesi Notaris yang Rawan Penyimpangan
DIANTARA berbagai profesi, notaris termasuk profesi yang cukup prestius. Orang yang berprofesi ini adalah pejabat umum yang dipercaya pemerintah untuk membuat akta otentik. Namun seperti profesi lainnya ada juga notaris nakal yang dengan sengaja melanggar jabatan dan menyimpang dari aturan kode etik dalam menjalankan pekerjaannya demi keuntungan pribadi. Akibatnya tidak sedikit masyarakat dirugikan akibat ulah notaris nakal.
Contohnya, lihat saja apa yang terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim) terhadap perusahaan PT Daisy Timber (DT). Menurut Ketua Pansus Evaluasi Perusahaan Daerah DPRD Kaltim Andi Harun, banyak terjadi keanehan didalam perubahan saham di PT DT.
Semula 60 persen saham perusahaan HPH ini dimiliki PT DT dan 40 persennya dimiliki masyarakat. Sebanyak 40 persen itu dibagi ke Perusda Kehutanan Silva Kaltim Sejahtera (SKS) sebesar 10 persen, Pondok Pesantren Al Banjari Balikpapan 10 persen, KUD Mufakat Biduk-biduk 10 persen, dan Koperasi Karyawan PT DT 10 persen.
Tapi, tiba-tiba komposisi saham telah berubah menjadi 85 persen saham dikuasai PT DT, sedangkan sisanya 15 persen yang dimiliki unsur masyarakat, di luar Perusda Kehutanan SKS yang justru tidak memiliki lagi saham di PT DT.
Hal inilah yang kemudian digugat oleh DPRD Kaltim dengan membentuk pansus.
Diduga hilangnya sebagian saham milik unsur masyarakat Kaltim dan hilangnya seluruh saham milik Perusda SKS terjadi melalui rapat umum pemegang saham (RUPS) pada 2007 yang tanpa dihadiri unsur masyarakat. Sedang dari PT TS diwakili Indra Wargadalem selaku kuasa hukum pemegang saham mayoritas di PT DT.
“Mestinya notaris melakukan klarifikasi, siapa saja yang hadir di RUPS. Notarisnya ceroboh, dan bisa diduga melakukan kerja sama,” tuding Andi Harun, beberapa waktu lalu.
Apa yang terjadi di PT DT mengenai kasus hilangnya kepemilikan saham dari unsur masyarakat Kaltim memang bukan merupakan satu-satunya. Karena masih banyak kasus yang sama terjadi yaitu hilangnya kepemilikan saham seperti pada kasus sengketa pengelolaan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Namun yang jelas ada pernyataan dari Ketua Pansus Persda, Andi Harun yang patut menjadi perhatian bahwa hilangnya saham dari unsur masyarakat tidak lepas dari kecerobohan notaris yang justru mengesahkan perubahan komposisi kepemilikan saham dengan akte No 16 tanggal 14 Agustus 2007.
Padahal sebagai seorang yang dipercaya dan diberikan kewenangan penuh oleh pemerintah menjadi pejabat umum untuk membuat akta-akta otentik, tugas seorang notaris dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya tentu harus hati-hati dan cermat.
Dia pun harus mematuhi rambu-rambu yang diatur dalam Undang Undang (UU) Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.
Masalahnya akta-akta otentik yang dibuat notaris adalah juga merupakan dokumen
negara dan bisa menjadi alat bukti di persidangan. Sehingga jika terjadi kesalahan atau penyimpangan sekecil apapun dalam pembuatannya oleh notaris tentu bisa berdampak sangat luas dan bisa merugikan pihak-pihak yang terkait secara
langsung dengan keberadaan akta-akta itu.
Dalam kasus lainnya, notaris juga sering dicurigai terlibat dalam penipuan dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), termasuk pemalsuan surat setoran bea (SSB) perolehan hak atas tanah dan bangunan dan surat setoran pajak (SSP). Hal itu pernah digelisahkan oleh Bupati Boyolali Seno Samudra.
“Ada laporan beberapa notaris nakal, seringkali menyiasati sehingga tidak membayar PBB. Seno mencontohkan, misalkan dijual sebuah lahan dengan tunggakan PBB lima tahun, namun oleh notaris hanya dibayar PBB satu tahun kemudian langsung transaksi,” katanya.
Akibatnya, ketika pembeli baru diminta membayar PBB tunggakan, jelas enggan membayar. Sebaliknya pemilik lama pun juga enggan bayar karena status tanah bukan lagi atas nama miliknya. “Kalau seperti itu namanya memberatkan pemerintah, padahal salah satu komponen pembangunan didapat dari pajak yang dipungut dari masyarakat,” begitu Seno.
****
DALAM UU tentang jabatan notaris ada sejumlah kewajiban yang harus dipenuhinya. Antara lain dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dengan akta-akta yang dibuatnya.
Selain itu notaris harus menjaga sikap, tingkah laku, dan menjalankan
kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi dan menjaga kehormatan serta
martabat sebagai notaris.
Meski demikian dalam praktiknya tidak sedikit notaris melanggar kewajiban
dan sumpah jabatannya. Bahkan ada notaris yang sampai melakukan tindakan
penyimpangan dengan menjurus kepada perbuatan tindak pidana dalam pembuatan
akta-akta otentik tersebut.
Terhadap pelanggaran atau tindakan penyimpangan yang dilakukan notaris ada
dua proses hukum yang bisa dilakukan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Pertama, mengadukan kepada Majelis Pengawas Notaris, atau menggugat dan melapor kepada aparat penegak hukum jika perbuatan sang notaris dalam pembuatan akta-akta dinilai sebagai sebuah tindak pidana.
Biasanya laporan pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan notaris disampaikan kepada Majelis Pengawas Notaris yang terdapat di seluruh kabupaten/kota, provinsi serta tingkat pusat ini terkait dengan dugaan pelanggaran jabatan atau prilaku dari sang notaris.
Adapun secara kasuistis bentuk pelanggarannya seperti dikutip dalam buku Himpunan Putusan Banding Majelis Pengawas Pusat (MPP) periode tahun 2005-2009 terbitan Kementerian Hukum dan HAM antara lain notaris bertindak tidak jujur, tidak seksama, tidak mandiri, dan tidak menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan hukum.
Pelanggaran lainnya yaitu notaris tidak memberikan salinan kepada pihak yang merasa berkepentingan dan tidak memberikan pelayanan yang sesuai
dengan ketentuan dalam UU tentang Jabatan Notaris.
***
SEKRETARIS Majelis Pengawas Pusat (MPP) Notaris, Martua Batubara dalam perbincangan dengan Pelita belum lama ini mengatakan, terhadap notaris yang terbukti melakukan pelanggaran jabatan dan kode etik bisa dikenai sanksi dari yang ringan, sedang, hingga sanksi berat.
Untuk penjatuhan sanksi teguran lisan dan tertulis itu wewenang Majelis Pengawas Wilayah (MPW) tingkat Provinsi setelah adanya usulan atau rekomendasi dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) tingkat Kabupaten/Kota.
MPD sebelumnya memeriksa dan kemudian menyerahkan berita acara pemeriksaan (BAP) dari pelapor dan terlapor serta rekomendasi tentang sanksi kepada MPW.
Adapun materi yang diperiksa oleh majelis pengawas notaris, kata Martua, tidak menyangkut dan menguji tentang subtansi atau materi dari isi sebuah akta. “Itu tidak. Tapi kami hanya menguji bagaimana notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai ketentuan UU dalam membuat akta atau tidak. Jadi hanya soal prosedural.”
Dikatakan Martua, soal sanksi berupa teguran lisan dan tertulis ditujukan untuk pelanggaran ringan. “Putusan juga bersifat final dan tidak bisa banding kepada MPP. Atau putusan tersebut bersifaf incrahct di tingkat MPW,” kata Martua.
Hanya saja, kata Martua, karena ada aturan dalam peraturan menteri tentang tata cara pemeriksaan bahwa setiap keberatan terhadap keputusan berhak mengajukan banding, “Maka terhadap putusan MPW yang tidak bisa banding, bisa diajukan banding. Tapi nanti kami terima dan catat dalam pengertian administratif saja.”
Oleh karena itu, kata Martua, apakah diterima permohonan banding untuk
diperiksa dalam pengertian menguji putusan MPW oleh MPP, “Ya, tentu saja tidak.
Nanti akan kami tolak permohonan bandingnya, karena sesuai ketentuan sanksi
teguran lisan dan tertulis itu bersifat final dan tidak ada upaya banding hukum
banding, itu penjelasannya,” tutur Martua.
Sementara penjatuhan sanksi pemberhentian sementara dan tidak hormat, kata Martua yang juga Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Hukum dan
HAM, adalah wewenang dari Majelis Pengawas Pusat (MPP) Notaris atas usulan MPW, yang kemudian diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM.
“Nanti keputusan pemberhentian sementara atau tidak hormat yang menetapkan
dan menandatangani Menteri Hukum dan HAM,” ucap Martua yang mengakui putusan MPP pada tingkat banding adalah terhadap pelanggaran-pelanggaran yang tergolong berat.
Kategori pelanggaran berat yang bisa melahirkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat misalnya ada kerugian-kerugian material yang besar yang dialami para pihak. Selain itu sangat jelas-jelas pelanggarannya mengancam kredibilitas profesi notaris sehingga berdampak tidak dipercayainya otaris. “Terutama jika pelanggaran-pelanggaran tersebut sampai masuk ke ranah pidana.”
Soal notaris yang dijatuhi sanksi, diakui Martua, sejak adanya Majelis Pengawas Notaris enam tahun lalu, jumlahnya hanya sedikit yaitu 24 notaris. Saat ini jumlah notaris lebih dari 10.000 orang.
“Jika dilihat persentase notaris yang nakal dan telah dijatuhi hukuman memang kecil sekali,” katanya seraya membenarkan dari 24 notaris ada dua notaris yang dikenai sanksi cukup berat oleh MPP yaitu pemberhentian tidak hormat karena ada unsur tindak pidananya. “Satu notaris di Surabaya dan satu lagi notaris di Depok,”
ungkapnya.
Sedang notaris lainnya dikenai sanksi bervariasi. Mulai teguran lisan, tertulis, dan pemberhentian sementara. Khusus notaris yang diberhentikan sementara antara tiga sampai enam bulan, maka selama tidak aktif akan ditunjuk notaris penerima protokol sementara oleh menteri berdasarkan usulan dari MPD.
Protokol notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris
Notaris prokol sementara ini, ucap Martua, yang akan mengganti peran notaris
yang terkena sanksi sementara. ”Karena protokol yang berada di bawah penguasaan
notaris ada fungsi pelayanannya yang harus diberikan kepada masyarakat. Sehingga tidak boleh hanya karena notaris berhenti sementara, kemudian kegiatan protokol notaris juga ikut berhenti.”
Adapun notaris yang terkena sanksi pemberhentian sementara bisa mengajukan lagi kepada menteri untuk aktif menjadi notaris setelah masa hukumannya berakhir. “Nanti menteri yang akan mempertimbangkannya.”(m juhriyadi)
sumber :http://www.pelitaonline.com/
Label: Umum
0 Komentar:
Posting Komentar
Your Comment
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda