21 Desember 2009

PP ( Pentingkah Pengertian ? )

Pernahkan antum mengamati, di Grasco barangkali, atau di kontak-kontak jodoh yang ada di majalah. Dicari seorang gadis yang jujur, sabar dan pengertian, atau dicari pria yang mapan dan pengertian. Nah, selalu saja ada kata “pengertian”nya.

Sebegitu pentingkah pengertian itu, hingga siapapun selalu mendambakan dan mensyaratkan keberadaannya. Ketika seseorang memilih pasangan hidup, ketika memilih rekanan, ketika memilih guru ngaji, selalu saja yang terlontar adalah ,”Orangnya pengertian nggak ??” hingga kalau ada jawaban,”pengertian” ,seolah jawaban yang lain menjadi di nomor sekiankan.

Agak miskin dikit nggak apalah asal pengertian; nggak pinter-pinter amat dalam agama nggak papa lah, asal pengertian kan bisa diajak bicara. Nggak ustadz nggak papalah asal pengertian. Pengertian akhirnya seolah menjadi kata-kata yang seringkali melekat dalam bibir kita jika kita dihadapkan pada pilihan partner kerja, guru ngaji, bahkan pasangan hidup. Selain kata pengertian nampaknya yang lain, masih dapat dimaklumi.

Jika demikian mengapa akhirnya kita tidak memilih menjadi orang yang pengertian saja, hingga menjadi orang yang disukai banyak orang, hingga menjadi orang yang seringkali dimaklumi banyak orang. Atau, ataukah menjadi orang yang pengertian itu sulit hingga pengertian harus menjadi syarat, bahkan hingga memilih guru mengaipun mash diembel-embeli kata “pengertian ngak ?”

Pengertian, sulitkah ?
Menurut saya, menjadi orang yang pengertian itu susah-susah gampang; ini karena tergantung pada orangnya, mau mengusahakan nggak, bisa menahan ego nggak, mau berlatih atau nggak. Sebenarnya orang yang pengertian itu adalah orang yang mengembangkan empatinya kepada orang lain. Orang yang mau melihat “asbabun” nya kenapa seseorang bertindak dan bertingkah laku demikian. Orang yang pengertian biasanya mencari sebab, dan berupaya menanganinya atau mensikapinya sesuai dengan dosis yang bisa diterimanya. Karenanya orang yang demikian biasanya menjadi sangat menyenangkan. Orang yang pengertian, bertindak seperti dokter.

Apakah setiap aktifis dakwah itu pengertian ?
Lho, kenapa kok bertanya seperti itu, itu kan pertanyaan yang memojokkan penulis artikel ini. Tapi nggak apalah. Memang, aktifis dakwah itu kan manusia juga, yang latar belakangnya bermacam-macam. Aktifis dakwah itu ya manusia yang masih perlu banyak mendalami Islam pula, perlu banyak belajar pula, perlu banyak merenung pula, perlu banyak diingatkan oleh adik-adik ngajinya pula, jadi ya ada yang pengertian dan ada pula yang belum, atau kadang pengertian, kadang nggak. Jadi ya samalah dengan kita-kita, namanya juga masih manusia.

Suatu saat seorang aktifis dakwah memberikan tugas kepada adik-adik mentornya, sebuah tugas yang menjadi momok banyak aktifis ngaji, murajaah-sebuah istilah keren untuk hafalan ayat-ayat Al Qur’an-. Ada seorang yang nggak apal-apal, yang lain sudah menginjak surat An Naziat, yang ini masih surat AnNaba saja. Merasa geram karena kok muridnya yang satu ini nggak apal-apal, lalu aktifis pembina ini menceritakan Imam Syafi’I yang karena melihat betis perempuan akhirnya banyak bacaannya yang hilang. Tentu yang tak hafal tadi merasa dipojokkan karena akhirnya seolah-olah ia dianggap yang paling banyak maksiatnya. Padahal barangkali kemampua ia menghafal memang lemah.

Seseorang bisa menjadi malas ke pengajian bisa karena guru ngajinya yang kurang pengertian. Karenanya jika antum menjadi guru ngaji yang paling penting adalah menyemangati, bukan sekadar menilai dan mengevaluasi, karena dua hal terakhir ini dapat dikerjakan semua orang.

“Guru” saya, pak Abdullah Shahab, pernah bercerita, suatu saat mahasiswanya memperoleh nilai yang begitu jelek, Ipnya rendah. Beliau lantas dengan agak gusar, mengatakan, “Ya kamu kurang belajarnya”. Tapi alangkah terkejutnya beliau, ketika mahasiswa itu mengatakan bahwa dalam beberapa bulan terakhir ia sempat dirawat di “menur”- sebuah RS Jiwa -. Beliau lalu dengan cepat-cepat mengatakan lagi, “Tapi ya kalau belajar jangan terlalu lelah, kalau sudah capek ya istirahat”. Beliau menyesal karena telah kurang pengertian kepada mahasiswanya itu, dan telah memberikan vonis tanpa mengerti musababnya.

Begitulah, kita sendiri yang orang banyak mengatakan “aktifis” barangkali harus perlu mengerti dan belajar banyak tentang “pengertian”, karena barangkali kita telah banyak belajar halal haram, mana yang baik dan mana yang buruk, akan tetapi ketika harus menangani seseorang, yang ia butuh sentuan hati dan sisi-sisi psikologis, kita tak bisa melakukannya. Kita terkadang hanya bisa memvonis tanpa bisa memotivasi. Ingatlah bahwa memvonis berarti membunuh dan memotivasi akan menolong. Jangan lagi kita sekarang menjadi sinis atas rekan kita yang barangkali hafalannya masih sedikit–wah ini pasti yang nulis nggak banyak apalannya – atau jangan pula kemudian kita sinis kepada rekan kita yang masih baru, yang barangkali pergaulannya belum tertata. Kita harus belajar memahami, untuk kemudian kita carikan solusi yang bisa dia mengerti. Kita barangkali memang harus banyak belajar fiqih dakwah disamping fiqih Islam.

Apakah rasul juga pengertian juga ?
Setahu saya demikian, coba lihatlah apa yang beliau lakukan ketika seseorang meminta izin kepada Rasul untuk berzina, Rasul dengan sabar hanya menanyai bagaimana jika keluarganya dizinai orang, sebuah pertanyaan yang tak menyinggung, tapi menyebabkan pemuda itu jadi mengerti. Atau bagaimana ketika seorang badui , tiba-tiba kencing di masjid, beliau hanya memerintahkan orang untuk menyiramnya saja, karena beliau mengerti, bagaimana kapasitas orang badui itu. Bacalah kemuliaan akhlaq rasul itu dalam buku ARRasul-nya Said hawa, tentu kita akan memahami dan berdecak kagum dibuatnya. Kita akan jadi “mengerti” dibuatnya.

Karenanya jadilah yang pengertian itu.
copi paste http://achedy.penamedia.com/2002

Label: