Apa yang Salah dengan Ujian Nasional?
Setelah
mengelaborasi tiga jenis nasionalis, kini saya ingin melunasi utang
saya untuk menjabarkan alasan mengapa saya pernah mengeluarkaan
pernyataan `Ujian Nasional adalah Pembodohan'
Saya
yang baru saja lulus SMA ini tentu masih merasakan betapa sia – sianya
sistem evaluasi pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah ini. Dimana
letak
pembodohannya? Di model standarised-test yang melihat nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa. Alhasil, siswa menjadi score-oriented. Bukanlearning-oriented.
Apa yang salah dengan standarised-test macam Ujian Nasional?
1) Pelaksanaannya yang Rentan Kecurangan
Bukan
rahasia umum lagi banyak murid yang saking takutnya atau saking
malasnya berakhir dengan membeli soal dari pihak tak bertanggungjawab.
Karena mereka dituntut untuk lulus, tidak semuanya mampu menomorsatukan
kejujuran.
Kalau
hari ini masih banyak orang yang korupsi, bisa jadi karena pelaksanaan
EBTA/EBTANAS sampai Ujian Nasional tidak dianggap sebagai tempat
bersemainya benih – benih generasi muda koruptif.
Bagaimana
tidak? Soal pilihan ganda yang diujikan itu sendiri memudahkan para
murid untuk menghalalkan praktik contek-mencontek. Keberadaan pengawas
pun tidak begitu tegas menindak peserta ujian yang terlihat
mencurigakan.
2) Indikator Keberhasilan Pendidikan yang Semu
Sekali
lagi, karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar
mengajar di kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami
(baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari
adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Tanpa memahami secara
utuh bagaimana bidang Fisika Modern dapat bermanfaat bagi kehidupan.
Mayoritas dari kami menghapal rumus. Dan setelah ujian, tidak sampai
seminggu, semuanya menguap. Bahkan,
kota New York yang menggunakan English Reagent sebagai syarat kelulusan
seorang siswa yang telah belajar 12 tahun juga telah menuai korban.
Parameter
keberhasilan pendidikan negeri ini diukur oleh nilai batas minimum yang
hanya mendewakan angka statistika kelulusan dan menghasilkan
kesuksesan yang semu. Buktinya makin banyaknya orang yang bisa sekolah
tetapi berita tawuran antarpelajar masih santer terdengar.
Mengapa
ini bisa terjadi? Karena di ruang kelas tidak ada cukup ruang untuk
melatih berkomunikasi dengan santun melalui media berdiskusi. Karena 2
jam mata pelajaran tidak membuka keran berimajinasi dan bereksplorasi.
Kami dijejali soal – soal yang tidak akan kami hadapi di kehidupan
nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak
dibiasakan menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional berbentuk
pilihan gandaya yang jelas – jelas tidak medorong kami untuk mencintai
riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca.
Leadership (kepemimpinan), Entrepreneurship (kewirausahaan) ?
Jangan harap. Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal penting ini
diselipkan. Tapi di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua
kalangan? Belum tentu. Pemerintah masih berjibaku dengan kebijakan RSBI /
SBI yang menggelikan.
**
Sejatinya,
keberhasilan sistem pendidikan yang nyata adalah jika hasil dari sistem
yang berlaku dapat membentuk karakter manusia yang lebih manusiawi.
Yang berpegang teguh pada nilai – nilai positif, tidak apatis, dan mampu
berkolaborasi. Yang mampu mendongkrak nilai PDB (Produk Domestik Bruto)
secara signifikan.Pendidikan yang berhasil akan memutus lingkaran setan
kemiskinan, memotivasi peserta didik untuk bermimpi tinggi, serta
membuat manusia tidak akan lelah
belajar dimana pun dan dari siapa pun.
Secara
konstitusional, reformasi kurikulum nasional adalah tugas Kemendikbud
(Kementrian Pendidikan dan Budaya). Namun, jika mereka tidak juga sadar
dan membuat perubahan, mempersiapkan generasi yang lebih baik adalah
kewajiban setiap individu. Karena, secara moral, seperti Anies Baswedan
pernah katakan,mendidik adalah tugas setiap orang yang terdidik.
Pendidikan
yang sesungguhnya benar seperti kata pepatah: Seperti padi, semakin
tinggi semakin merunduk. Oleh karena itu, jangan anggap remeh nilai –
nilai kehidupan yang mengagungkan kejujuran, kedisiplinan, dan
kesederhanan. Mari ajarkan nilai saling mendengakan di keluarga kita,
teman – teman terdekat agar tidak menggunakan kekerasan dalam
menyampaikan pendapat. Luangkan sedikit waktu
dan tenaga untuk mendorong murid – murid kurang mampu untuk berani
bermimpi dan mewujudkan impian itu. Donasikan buku – buku yang kita
punya agar budaya membaca perlahan bisa kita tumbuhkan.
Kalau Negara tidak kunjung melunasi janjinya untuk mencerdaskan bangsa, yuk kita mencerdaskan diri sendiri dan sekitar kita. :)
0 Komentar:
Posting Komentar
Your Comment
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda