27 Desember 2012

Apa yang Salah dengan Ujian Nasional?


Setelah mengelaborasi tiga jenis nasionalis, kini saya ingin melunasi utang saya untuk menjabarkan alasan mengapa saya pernah mengeluarkaan pernyataan `Ujian Nasional adalah Pembodohan'
Saya yang baru saja lulus SMA ini tentu masih merasakan betapa sia – sianya sistem evaluasi pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah ini. Dimana letak pembodohannya? Di model standarised-test yang melihat nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa. Alhasil, siswa menjadi score-oriented. Bukanlearning-oriented. 
Apa yang salah dengan standarised-test macam Ujian Nasional?
1)      Pelaksanaannya yang Rentan Kecurangan
Bukan rahasia umum lagi banyak murid yang saking takutnya atau saking malasnya berakhir dengan membeli soal dari pihak tak bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk lulus, tidak semuanya mampu menomorsatukan kejujuran.
Kalau hari ini masih banyak orang yang korupsi, bisa jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai Ujian Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih – benih generasi muda koruptif.
Bagaimana tidak? Soal pilihan ganda yang diujikan itu sendiri memudahkan para murid untuk menghalalkan praktik contek-mencontek. Keberadaan pengawas pun tidak begitu tegas menindak peserta ujian yang terlihat mencurigakan.
 2)      Indikator Keberhasilan Pendidikan yang Semu
Sekali lagi, karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar mengajar di kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Tanpa memahami secara utuh bagaimana bidang Fisika Modern dapat bermanfaat bagi kehidupan. Mayoritas dari kami menghapal rumus. Dan setelah ujian, tidak sampai seminggu, semuanya menguap. Bahkan, kota New York yang menggunakan English Reagent sebagai syarat kelulusan seorang siswa yang telah belajar 12 tahun juga telah menuai korban. 
Parameter keberhasilan pendidikan negeri ini diukur oleh nilai batas minimum yang hanya mendewakan angka statistika kelulusan dan menghasilkan kesuksesan yang semu. Buktinya makin banyaknya orang yang bisa sekolah tetapi berita tawuran antarpelajar masih santer terdengar.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena di ruang kelas tidak ada cukup ruang untuk melatih berkomunikasi dengan santun melalui media berdiskusi. Karena 2 jam mata pelajaran tidak membuka keran berimajinasi dan bereksplorasi. Kami dijejali soal – soal  yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional berbentuk pilihan gandaya yang  jelas – jelas tidak medorong kami untuk mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca.
Leadership (kepemimpinan), Entrepreneurship (kewirausahaan) ? Jangan harap. Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal penting ini diselipkan. Tapi di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan? Belum tentu. Pemerintah masih berjibaku dengan kebijakan RSBI / SBI yang menggelikan.
**
Sejatinya, keberhasilan sistem pendidikan yang nyata adalah jika hasil dari sistem yang berlaku dapat membentuk karakter manusia yang lebih manusiawi. Yang berpegang teguh pada nilai – nilai positif, tidak apatis, dan mampu berkolaborasi. Yang mampu mendongkrak nilai PDB (Produk Domestik Bruto) secara signifikan.Pendidikan yang berhasil akan memutus lingkaran setan kemiskinan, memotivasi peserta didik untuk bermimpi tinggi, serta membuat manusia tidak akan lelah belajar dimana pun dan dari siapa pun.
Secara konstitusional, reformasi kurikulum nasional adalah tugas Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Budaya). Namun, jika mereka tidak juga sadar dan membuat perubahan, mempersiapkan generasi yang lebih baik adalah kewajiban setiap individu. Karena, secara moral, seperti Anies Baswedan pernah katakan,mendidik adalah tugas setiap orang yang terdidik.
Pendidikan yang sesungguhnya benar seperti kata pepatah: Seperti padi, semakin tinggi semakin merunduk. Oleh karena itu, jangan anggap remeh nilai – nilai kehidupan yang mengagungkan kejujuran, kedisiplinan, dan kesederhanan. Mari ajarkan nilai saling mendengakan di keluarga kita, teman – teman terdekat agar tidak menggunakan kekerasan dalam menyampaikan pendapat. Luangkan sedikit waktu dan tenaga untuk mendorong murid – murid kurang mampu untuk berani bermimpi dan mewujudkan impian itu. Donasikan buku – buku yang kita punya agar budaya membaca perlahan bisa kita tumbuhkan.
Kalau Negara tidak kunjung melunasi janjinya untuk mencerdaskan bangsa, yuk kita mencerdaskan diri sendiri dan sekitar kita. :) 

sumber: http://igeacitta.wordpress.com/2012/07/10/apa-yang-salah-dengan-ujian-nasional/

0 Komentar:

Posting Komentar

Your Comment

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda