Masih Adakah Guru ini
BELUM lagi
hilang lelahku sehabis mengajar. Istri ku, Ratih, dengan wajah masam sambil
berkacak pinggang langsung berujar.
“Kalau honor Mas mengajar di sekolah hanya 350 ribu sebulan, mana cukup untuk
memenuhi kebutuhan kita. Sekarang, kita sudah punya anak, Mas,” ingatnya
berapi-api.
Hah..., sebenarnya aku sangat malas meladeni, bahkan bosan. Tiap kali aku
menyerahkan honorku. Pasti dia ngomel tak karuan. Seharusnya
dia ikut bersyukur. Bulan ini honorku dinaikkan pihak sekolah 50 ribu sebulan
dari sebelumnya. Tapi, memang dasar tabiat istriku seperti itu. Bawaannya ngomel melulu.
Salah ini diomelin. Salah itu juga diomelin. Nasib...! Nasib...!
“Ya, mau gimana lagi, Bu. Pihak sekolah hanya mampu membayar Mas segitu.”
ucapku dengan terpaksa.
“Mas berhenti saja jadi guru,” sahut Ratih enteng. Masih dengan suara
cemprengnya yang memekakkan gendang telinga. Kalau harus memilih, mungkin aku
lebih suka mendengarkan musik-musik cadas. Dari pada suara Ratih.
“Maksud Ibu?”
“Mas cari kerjaan lain saja. Percuma jadi guru honorer. Sudah lima tahun
mengabdi, belum juga di angkat jadi PNS.”
Ah, baru sadar aku. Ternyata sudah lima tahun aku menjadi guru honorer, di
sebuah sekolah dasar di kampungku. Aku mengajar sejak semester akhir kuliah. Di
tahun ke-empat, ku putuskan untuk menikahi Ratih. Sebab dia mau menerima aku
apa adanya.
Tetapi, niat hatinya menerimaku dengan
apa adanya hanya sampai di tahun pertama. Di tahun ke-dua, apalagi setelah
mempunyai anak. Ratih mulai mempermasalahkan penghasilan kecilku sebagai guru
honorer. Ia terus menggerutu dan mengomel karena terus kekurangan uang untuk
membeli keperluan rumah tangga dan dapur.
Aku tak tahu ini salahku atau salah
pemerintah. Kenapa sampai sekarang aku masih belum menjadi PNS? Padahal aku tak
pernah ketinggalan mengisi formulir yang diberikan kepala sekolah, untuk
mengisi data yang akan dimasukkan ke dalam data base.
Mungkin tak hanya diriku yang bernasib
seperti ini. Ratusan, bahkan ribuan guru honorer di daerah lain. Nasibnya juga
tak berbeda jauh dariku. Hanya mengharap “Belas Kasihan” Pemerintah agar segera
di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, seperti harapan.
“Mau kerja apa? Mas bisanya cuma
mengajar,” elakku.
Mengajar adalah panggilan jiwa. Aku
sangat mencintai profesiku sebagai seorang guru. Aku juga punya harapan untuk
memajukan kampung halamanku ini. Dengan menciptakan generasi-generasi yang
cerdas melalui ilmu yang ku transfer di bangku sekolah.
“Kerja apa, kek, yang penting
penghasilannya lebih besar dari ini.” Ratih menghempaskan uang yang tadi ku
berikan ke atas meja. Lalu masuk ke kamar, sebab terdengar suara tangisan
anakku yang tadi sedang tidur. Mungkin terbangun karena mendengar suaranya
ibunya yang nyaring.
Sebelum punya anak, Ratih bekerja di
warung makan Haji Bardi, sebagai pelayan. Upahnya cukup lumayan untuk menambah
keuangan keluarga. Setelah punya anak, dia berhenti, karena harus merawat bayi
kami. Kini hanya aku, satu-satunya menjadi tumpuan untuk menghidupi mereka.
Barulah aku tahu, alasan dia selalu
marah-marah tak karuan. Ia ingin aku cari kerjaan lain rupanya. Ah, apakah aku
terlalu bodoh selama ini? Sehingga tak mengerti keinginannya. Mungkin, ia ingin
seperti tetangga yang lain. Yang segala kebutuhannya bisa terpenuhi. Bahkan
lebih. Mereka bisa beli ini dan itu. Sedangkan istriku?
Namun, aku masih bersyukur. Ratih kuat
menyimpan rahasia. Ia tak pernah bercerita ke tetangga akan keadaan rumah
tangga kami. Ia selalu dapat berpura-pura, bahwa keluarga kami tak pernah
kekurangan. Bahkan, terlihat sangat harmonis. Sehingga banyak keluarga lain
yang terlihat iri.
Itu ku ketahui ketika aku mau membeli
pisang goreng di warung Acil Rahmah. Tetapi, harus menunggu karena pisang
gorengnya belum matang. Seraya menunggu, aku pun di ajak mengobrol warga lain.
“Kamu ini beruntung, Man,” kata Bang
Salim. “Sudah istri cantik, pengertian lagi,” lanjutnya tampak iri.
“Maksud, Abang?” tanyaku bingung. Lalu
duduk di sampingnya, di kursi panjang di dekat meja.
“Masa kamu tak paham sih, Man,” Acil
Rahmah yang sedang membolak-balik pisang goreng dalam wajan langsung menyahut.
“Istri kamu, tuh, tak seperti istrinya si Salim ini, yang suka marah-marah
minta dibelikan ini dan itu...”
Hup..! Apakah jawaban Acil Rahmah yang
spontan ini tak ada maksud untuk menyindirku juga?.
“Aku tak pernah mendengar kalian
bertengkar, saat lewat depan rumahmu,” kata Bang Salim lagi. “Padahal aku tahu,
penghasilanmu sebagai guru honorer, tak lebih besar dariku yang hanya penarik
becak.....”
Ah, malu juga rasanya. Jadi guru,
tetapi, penghasilannya lebih kecil dari penarik becak.
“Dari itu aku berkesimpulan, bahwa
istrimu itu orang yang pengertian.” Bang Salim meniupkan asap rokoknya dengan
kasar ke udara. “Kalau aku, hampir tiap hari bertengkar. Hanya gara-gara
masalah duit.”
Oh, leganya juga rasanya. Ternyata
selama ini tak pernah ada yang tahu keadaan dalam rumah tangga kami yang
sebenarnya. Aku memang sering mengalah, bila Ratih sudah mulai mengomel. Ku
ambil pancing, pergi ke pematang sawah. Memancing ikan papayu,
ataupun saluwang. Bila beruntung, aku bisa dapat 20 ekor lebih. Itu
sudah cukup untuk meredam kemarahan Ratih.
Seandainya, sikapku seperti Bang
Salim–yang selalu meladeni istrinya bila marah. Dapat di pastikan, di rumahku
bakal terjadi “Perang dunia ke-3” bahkan, sampai dua kali dalam sehari.
Ah, bagaimana ini? Apakah memang aku
harus berhenti mengajar? Demi memenuhi keinginan Ratih. Pusing.....!.
Suara tangis anakku tak terdengar lagi.
Ia sudah tertidur kembali. Tapi....ah, lebih baik aku pergi memancing saja.
Kalau Ratih keluar kamar, pasti dia akan melanjutkan marahnya. Cepat ku ambil
joran pancing di belakang rumah.
“Mas.....!” teriaknya.
Aku pura-pura tak mendengar. Terus ku
kayuh langkah menuju pematang. Semoga saja aku dapat ikan banyak lagi kali ini.
Sebelum berangkat ke sekolah, aku beranjak ke meja
makan untuk sarapan. Saat ku buka tudung saji. Kosong. Tak ada masakkan apapun
seperti biasanya. Ku lirik Ratih, dengan cueknya dia menyusui bayi kami.
“Ibu tak masak?” ku hampiri Ratih. Tanpa senyum, ia langsung menyahut ketus.
“Mau masak apa? Beras kita hanya tinggal setengah liter. Cukup untuk makan
siang saja.”
Aku tak lagi menyahut. Ku tinggalkan saja ia, lalu mengambil buku paket di atas
meja. Kalau ku tanya lebih lanjut. Pasti jawabannya, mau beli beras
pakai daun pisang. Dengan perut keroncongan, ku kayuh sepeda onthel-ku
menuju sekolah.
Pengeluaran semakin meningkat, seiring semakin besarnya anak kami. Dari mulai
popok, susu, bubur, dan pakaian. Ternyata, honorku selama satu bulan, tak cukup
lagi untuk membiayai keluargaku selama satu minggu.
***
Di sekolah, aku mengajar dengan lemas. Perutku terasa sangat lapar.
Melilit-lilit. Jam istirahat masih lama. Mau pergi ke kantor guru, untuk minum
duluan, malu sama guru-guru yang lain. Dengan sangat terpaksa ku tahan rasa
lapar ini.
“Pak, soal nomor 1, saya tak mengerti,” kata salah seorang muridku yang duduk
di bangku depan.
Untuk saat ini, aku jauh lebih senang kalau tak ada satu murid pun yang
bertanya, dengan begitu aku tak perlu membuang energiku yang hampir drop ini.
Tapi, apa mau di kata, sebagai seorang guru aku harus dengan sabar menjelaskan
pada murid-murid agar mereka mengerti.
“Pak, kok, enggak di jawab, sih!” kata muridku lagi. Kelihatannya dia mau
merajuk.
“I-iya, Bapak akan jelaskan.”
Dengan sisa tenaga yang masih ada, ku mencoba menjelaskan secara perlahan
bagaimana cara menyelesaikan tugas latihan yang tadi ku berikan. Semakin lama
menjelaskan, suaraku semakin lemah. Sehingga murid-muridku yang duduk paling
belakang langsung protes.
“Pak, nyaringin sedikit dong suaranya. Enggak kedengeran.....”
Kembali ku coba mengangkat suaraku. Agar semuanya bisa mendengar. Kali ini
lebih parah lagi. Pandanganku mulai menguning. Berkunang-kunang. Bahkan, huruf
dan angka yang ku tulis di whiteboard terlihat buram.
Krrrrruuuukk! Suara perutku.
Seiring dengan tawa murid-muridku yang langsung membahana menghantam
dinding-dinding kelas. Aku ambruk ke lantai, dan semuanya gelap.
***
Bau minyak angin menusuk rongga hidungku. Ku buka kelopak mataku pelan. Warna
putih langit-langit ruangan langsung menyapa retinaku. Ku coba mengenali aku
berada di mana. Apakah di rumah sakit? Atau di rumah?.
“Alhamdulillah, Pak Herman sudah sadar, Bapak ada di ruang UKS.” suara
Kepala Sekolah menjawab keingintahuanku.
Walaupun masih terasa pusing, ku coba untuk bangun. Duduk di bibir ranjang. Bu
Tini, langsung menyodorkan teh panas ke hadapanku.
“Minum, lah, dulu, biar badanmu bertenaga kembali”
Tanpa membantah, langsung ku tenggak separo gelas. Ah, sedikit tenang rasanya
cacing-cacing dalam perutku.
“Ini nasi bungkusnya, Pak” Pak Raji tergopoh-gopoh memasuki ruangan.
Menyerahkan sesuatu dalam kresek hitam kepada Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah tersenyum, kembali menghampiriku. “Kata murid-murid, Pak Herman
pingsan mungkin gara-gara kelaparan. Jadi kami belikan nasi bungkus ini untuk
Bapak.”
Ragu-ragu ku sambut nasi bungkus itu. Ku tatap semua yang ada di ruangan. Semua
tersenyum. Ah, jadi malu sendiri. Ketahuan pingsan gara-gara kelaparan.
Bel jam pelajaran baru kembali berbunyi. Semua guru dan Kepala Sekolah kembali untuk
mengajar. Tinggalah aku sendiri di ruang UKS sambil menghabiskan nasi bungkus
ini.
Tiba-tiba aku aku tertegun, teringat wajah Ratih dan anakku. Sanggupkah mereka
menahan lapar? Sedangkan aku saja pingsan. Ini baru sehari, bagaimana dengan
hari-hari -->?. Pasti akan lebih sering kejadian seperti ini terulang
padaku.
Mungkin, aku harus mengingkari panggilan jiwa. Aku tak boleh egois. Ratih dan
anakku merupakan amanah. Tak tega, membiarkan mereka harus mendera lapar karena
tak dapat membeli beras dan susu. Sebagai seorang suami tentu tak menginginkan
itu terjadi.
Ratih benar, lebih baik aku berhenti mengajar dan mencari kerjaan lain. Tak ada
yang bisa di harapkan dari gaji seorang guru honorer untuk bisa menghidupi keluarga.
Di otakku kini sudah bertebaran kata-kata yang akan ku susun
dalam surat pengunduran diri.
sumber : milis dikmenjur
0 Komentar:
Posting Komentar
Your Comment
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda